BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan dan perkembangan pendidikan sejalan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga perubahan akhlak pada anak sangat
dipengaruhi oleh pendidikan formal informal dan non-formal. Penerapan
pendidikan akhlak pada anak sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar kualitas
anak yang berakhlak mulia sebagai bekal khusus bagi dirinya, umumnya bagi
keluarga, masyarakat, bangsa dan agama.
Betapa banyak faktor penyebab terjadinya kenakalan pada
anak-anak yang dapat menyeret mereka pada dekadensi moral dan pendidikan yang
buruk dalam masyarakat, dan kenyataan kehidupan yang pahit penuh dengan
“kegilaan”, betapa banyak sumber kejahatan dan kerusakan yang menyeret mereka
dari berbagai sudut dan tempat berpijak.
Oleh karena itu, jika para pendidik tidak dapat memikul
tanggung jawab dan amanat yang diberikan pada mereka, dan pula tidak mengetahui
faktor-faktor yang dapat menimbulkan kelainan pada anak-anak serta upaya
penanggulangannya maka akan terlihat suatu generasi yang bergelimang dosa dan
penderitaan dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
bentuk bimbingan Guru dan orang tua dalam membina akhlak terhadap anak sekolah
di lingkungan sekolah
b.
Sejauh
mana pentingnya pembinaan akhlak terhadap anak sekolah di lingkungan
C.
Tujuan Penulisan
a.
Untuk
mengetahui bagaimana Guru dan orang tua dalam membimbing akhlak, pada sekolah
di lingkungan sekolah
b.
Untuk
mengetahui bagaimana pentingnya pembinaan akhlak terhadap sekolah di lingkungan
sekolah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Sopan
Santun
1. Sopan Santun Itu Telah Hilang. Mari kita Bangun!!
Indonesia dikenal sebagai negeri
yang ramah. Yang mengatakan bahwa negeri kita ramah bukan hanya tetangga dekat
atau tetangga jauh, orang-orang kita sendiripun merasa bangga akan hal itu
karena merasakan hal tersebut.
Pada zaman itu, alhamdulillah saya
merasakan, dimana orang tua menghargai anak muda dan anak muda sangat
menghormati kaum tua. Timbal balik yang membuat harmonisasi hidup begitu damai,
indah dan menyejukkan.
2.
Kenapa hal tersebut terjadi? ada dua alasan yang saya kemukakan.
1. Agama Islam. Agama islam mengajarkan untuk menghargai yang
muda dan menghormati yang tua. Di negeri ini mayoritas Islam. Dulu ketika
penduduknya masih menjalankan islamnya secara intens maka sopan santun
diterapkan dengan sebenar-benarnya karena sopan santun adalah bagian dari
islam. Maka karena mayoritas ini menjalankan islamnya dengan betul-betul,
akhirnya kita dikenal sebagai negeri yang sopan.
2. Guru dan Tetua Adat. Mereka menjadi orang-orang terdepan
yang mengedepankan sistem sopan santun ini. Dengan giat mereka mengajarkan adat
sopan santun, di mesjid atau di acara perkumpulan.
Namun di zaman ini, semua mulai kabur, mulai padam, mulai
sirna seperti akan menghilang ditelan bumi andai tidak ada perbaikan kembali.
Maka oleh karena itu mari kita berpikir bagaimana mengembalikan zaman-zaman
keemasan tersebut.
Anda sebagai generasi yang merasakan zaman itu saya ajak berpartisipasi untuk
mengembalikan budaya sopan santun. Dimana saat ini, anak muda tidak mengenal
yang namanya adat sopan santun.
Anak kecil kemarin sore memanggil pemuda yang jauh umurnya
dengan nama tanpa ada embel-embel “abang, mas, aa, dll “. Mereka melakukannya
tanpa merasa bersalah.
2.2. Perilaku
Orang-orang lewat di depan orang yang sedang duduk,
boro-boro bilang permisi tersenyumpun sepertinya mahal. Hal ini adalah
penyakit! Mari kita cari obatnya.
Padahal sopan santun itu jika digunakan akan mencegah banyak
keributan, akan mencegah terjadi pertengkaran dan akan mempererat rasa
persaudaraan.
Dulu di sekolah dan tempat mengaji atau diriungan, saya diajarkan oleh guru
atau saudara. Kalau lewat di depan orang tua harus membungkuk dan bilang
permisi. Pun seandainya kalau lewat di depan orang-orang yang sedang duduk atau
kita ingin melewati suatu kumpulan maka kita harus bilang permisi.
Namun sepertinya sekarang pelajaran itu tidak ada lagi. Anak
kemarin sore lewat di depan kerumunan orang tidak ada sopan santunnya, lewat
begitu saja bagai batang pisang ada raganya namun dingin tidak ada jiwanya.
Orang tua cuek dengan keadaan itu karena mereka pun sudah mulai tidak perduli
lagi dengan adat sopan santun.
Oleh karena itu mari kita perbaiki budaya sopan santun ini,
jika anda orang tua ajarkan kepada anaknya untuk berbuat sopan santun. Karena
sopan santun itu tidak mahal, tidak mengeluarkan banyak biaya. Jika anda
seorang kakak, ajarkan kepada adiknya untuk berbuat sopan santun karena
pastinya anda sayang dengan adik anda. Tentunya jika anda guru, anda WAJIB
mengajarkan kepada anak didik anda untuk mengajarkan sopan santun karena
sekolah adalah gerbang dari watak seseorang.
Jika anda membaca tulisan ini, silahkan sebarkan kepada
seluruh kenalan anda. Mari kita buat negeri ini kembali sebagai negeri ramah.
Negeri yang akan banyak mendapat berkah karena keramahan. Kirimkan lewat email
atau perbincangkanlah tulisan ini diantara sesama teman.
Hingga saat ini, saya masih terkesan dengan
pemikiran-pemikiran (almarhum) Rama Mangunwijaya tentang dunia pendidikan.
Pandangan-pandangannya mencerahkan, inklusif, kritis, dan selalu
menyadarkan insan-insan pendidikan untuk mengembalikan dunia persekolahan
kepada “khittah”-nya sebagai pencerah spiritual. Dalam buku Pasca-Indonesisa,
Pasca-Einstein (1999), misalnya, Rama Mangunwijaya pernah bilang bahwa
dunia persekolahan kita tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif
dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan,
tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya –apalagi berpikir
kritis-praktis– adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi di-drill,
dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari
pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.
Suasana pembelajaran yang “salah urus” semacam itu, demikian
Rama Mangunwijaya yang semasa hidupnya akrab dengan lingkungan pendidikan kumuh
di bantaran Kali Code Yogyakarta, telah membikin cakrawala berpikir peserta
didik menyempit dan mengarah pada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan
mental penyamun/perompak/penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Erat
berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap
terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan
bertopeng, seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan
merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang
dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang.
Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal budi, bahkan
makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang menjunjung tinggi martabat
kemanusiaan, tampaknya sudah menjadi fenomena yang mewabah dalam masyarakat
kita. Maraknya fenomena dan perilaku anomali semacam itu, disadari atau tidak,
merupakan imbas dari sistem pendidikan yang telah gagal dalam membangun
generasi yang utuh dan paripurna.
Pertama,
selama menuntut ilmu di bangku pendidikan, pelajar yang baik senantiasa
dicitrakan sebagai “anak mami” yang selalu mengamini semua komando gurunya.
Mereka ditabukan untuk bersikap kritis, berdebat, dan bercurah pikir.
Akibatnya, mereka tampak begitu santun di sekolah, tetapi menjadi liar dan
bringas di luar tembok sekolah.
Kedua,
anak-anak bangsa yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan (hampir)
tidak pernah dididik secara serius dalam menumbuhkembangkan ranah emosional dan
spiritualnya. Ranah kecerdasan spiritual yang amat penting peranannya dalam
melahirkan generasi yang utuh dan paripurna justru dikebiri dan dimarginalkan.
Kebijakan dan kurikulum pendidikan kita belum memberikan ruang dan waktu yang
cukup berarti untuk memberikan pencerahan spiritual siswa. Yang lebih
memprihatinkan, guru sering terjebak pada situasi rutinitas pembelajaran yang
kaku, monoton, dan menegangkan lewat sajian materi yang lebih mirip orang
berkhotbah, indoktrinasi, dan “membunuh” penalaran siswa yang dikukuhkan lewat
dogma-dogma dan mitos-mitos.
1. Pendidikan Harus Mampu
Memberikan Pencerahan
Idealnya, pendidikan harus mampu memberikan pencerahan dan
katarsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu bersikap
responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan
bangsanya. Melalui pencerahan yang berhasil ditimbanya, mereka diharapkan dapat
menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah
kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita membutuhkan
sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di
tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi
penghinaan.
2.
Mengembangkan Pendidikan Anak bangsa
Di tengah situasi Indonesia yang masih “silang-sengkarut”
akibat krisis multiwajah dan konflik berkepanjangan, sudah saatnya dunia
pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katarsis peradaban
yang sakit. Kehadirannya harus benar-benar dimaknai secara substansial sebagai
“kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang
utuh dan paripurna; cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus
cerdas spiritualnya. Bukan hanya sekadar pelengkap yang selalu disanjung puji
sebagai pengembang SDM, tetapi realitasnya hanya menjadi sebuah “Indonesia”
yang terpinggirkan.
b.3. model pendidikan berbahasa santun di sekolah
Berikut ini walaupun hanya sebuah abstrak dan kesimpulan
makalah yang ditulis tentang fenomena berbahasa para siswa di SMA N I
LIMBANGAN, namun diharapkan ada manfaatnya bagi guru-guru, tidak saja guru-guru
bahasa tetapi juga guru-guru bidang lainnya..
2.3.
Satrategi
Model Pengembangan Pendidikan Berbasis
Akhlak Berbahasa Santun Di Sekolah
1.
Mengembalikan
Nilai Kesantunan
Tulisan dilatarbelakangi oleh adanya berbagai fenomena
berbahasa di kalangan siswa yang telah menanggalkan nilai-nilai kesantunan
berbahasa sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat. Atas dasar itu
tulisan ini ingin menjawab strategi pendidikan yang bagaimana yang sesuai
dengan pengembangan berbahasa santun di sekolah. Tujuan penulisan ini adalah
untuk mengungkapkan strategi pendidikan berbahasa santun di sekolah. Paradigma
yang digunakan adalah naturalistik , pendekatan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan beragam metode (multi methods).
2.
Perinsif-perinsif
Berbahasa Santun
Berdasarkan penelitian, terdapat siswa berbahasa santun dan
tidak santun di sekolah, sekolah sementara belum memiliki strategi untuk
mengembangkan pendidikan nilai berbahasa. Berdasar penelitian ditemukan enam
prinsip berbahasa santun dalam Al Quran, yaitu qaulan sadiria, qaulan ma'rufa,
qaulan baligha, qaulan maysura, qaulan karima, dan qaulan layyina. Dari enam
prinsip tersebut ditemukan dua puluh enam nilai berbahasa santun yang dapat
dijadikan rujukan dalam pendidikan berbahasa santun di sekolah, keluarga,
maupun masyarakat. Di samping itu diturunkan strategi-strategi (multi strategi)
dalam pengembangan berbahasa santun di sekolah. Strategi tersebut adalah langkah-langkah
operasional dalam pengelolaan pendidikan berbahasa santun di sekolah, dan
pembelajaran berbahasa santun di kelas, menyangkut peran sekolah, guru, siswa, dan
karyawan sekolah yang dapat dijadikan altematif bagi pengembangan berbahasa
santun di sekolah.
3. Berbahasa Tepat
Tepatlah bunyi peribahasa, "bahasa menunjukkan
bangsa". Bagaimanakah sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa
tersebut? Apakah ia termasuk bangsa yang ramah, bersahabat, santun, damai, dan
menyenangkan? Ataukah sebaliknya, ia termasuk bangsa yang senang menebar
bibit-bibit kebencian, menebar permusuhan, suka menyakiti, bersikap arogan, dan
suka menang sendiri.
Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan
intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu suatu kebijakan yang
berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran di lembaga pendidikan. Salah satu
bentuk pembinaan yang dianggap paling strategis adalah pembelajaran bahasa
Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di sekolah. Dalam
KTSP, bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika.
Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari kelompok agama dan akhlak
mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral.
Kelompok mata pelajaran estetika sendiri bertujuan untuk
meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan mengapresiasi
keindahan dan harmoni. Kemampuan itu mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam
kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mesyukuri hidup, maupun dalam
kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.
Tujuan rumpun estetika tersebut dijabarkan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia yang bertujuan agar peserta didiknya memiliki
kemampuan antara lain (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai
dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis dan (2) menggunakan
bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan
emosional dan sosial. Tujuan tersebut dilakukan dalam aspek mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis.
Pelajaran bahasa Indonesia telah eksis sejak dulu dari
tingkat SD sampai PT. Di SD pelajaran ini mulai diberikan di kelas IV-VI,
alokasinya 5 jam per minggu atau 15,63% dari total alokasi jam pembelajaran,
SMP 4 jam atau 12,5%, di SMA kelas XI 4 jam atau 10,53%, kelas XI dan XII 4 jam
atau 7,69%. Alokasi itu diperkuat lagi dengan pelajaran bahasa Sunda sebanyak 2
jam setiap minggunya. Di PT, bahasa Indonesia termasuk dalam MKDU, minimal 2
SKS. Ini menunjukkan bahwa kedudukannya dalam kurikulum pendidikan formal
begitu utama dan strategis.
Ironisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah saat ini belum memberikan kontribusi dan korelasi
yang berarti terhadap tumbuhnya kesadaran penggunaan bahasa secara verbal yang
lemah lembut, santun, sopan, sistematis, teratur, mudah dipahami, dan lugas.
Pelajaran tersebut harus diakui belum mampu membangun nilai-nilai estetika dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini mungkin salah satunya disebabkan pembelajarannya
masih bersifat kurang komunikatif, dikotomis, artifisial, verbalistis, dan
kognitif.
Kegagalan menanamkan pendidikan nilai melalui pembelajaran
bahasa Indonesia ini tercermin pada perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan
nilai-nilai sopan santun. Kegagalan ini sedikit banyak telah memberi andil pada
terjadinya tindak kekerasaan di masyarakat, perseteruan di tingkat elite, dan
ikut memengaruhi terjadinya pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang dihormati
bersama.
Menurut pakar bahasa, I. Pratama Baryadi dari Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta, terdapat korelasi antara bahasa sebagai lambang yang
memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi antarmanusia dengan kekerasan yang
merupakan perilaku manusia yang hegemonik-destruktif.
Dua korelasi itu, pertama, bahwa bahasa dapat digunakan
sebagai alat untuk melakukan kekerasan sehingga menimbulkan salah satu jenis
kekerasan yang disebut kekerasan verbal. Wujudnya terlihat dalam tindak tutur
seperti memaki, membentuk, mengancam, menjelek-jelekkan, mengusir, memfitnah,
menyudutkan, mendiskriminasikan, mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa,
menghasut, membuat orang malu, menghina, dan lain sebagainya.
Kedua, bahasa yang tidak digunakan sesuai dengan fungsinya
akan menjadi pemicu timbulnya kekerasan. Fungsi hakiki bahasa adalah alat
komunikasi, alat bekerja sama, dan pewujud nilai-nilai persatuan bagi para
pemakainya. Dalam teori percakapan, ada dua prinsip penggunaan bahasa yang wajar-alamiah,
yaitu prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal
dilakukan dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan
konteksnya. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan
dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok,
dan simpatik.
Sejalan dengan itu, dalam ajaran Islam ada yang disebut
dengan dosa lisan. Dalam Q.S. Al Qalam [68]: 10-11), "Dan janganlah kamu
ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi menghina. Yang banyak mencela,
yang kian kemari menghambur fitnah". Larangan itu dipertegas lagi oleh dua
hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Hadis pertama berbunyi,
"Orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik.
Atau, (jika tidak bisa) lebih baik diam". Bunyi hadis kedua, "Orang
yang disebut Muslim adalah orang yang bisa menjaga tangannya dan lisannya (dari
menyakiti Muslim lain)". Begitulah ajaran agama mengatur etika dan anjuran
berbahasa dengan baik dalam lehidupan.
Anjuran tersebut juga relevan dengan pepatah lama yang
menyebutkan lidah atau lisan bagaikan pedang. Jika lisan telah mengibaskan
ketajaman mata pedangnya di hati, rasa sakit dan lukanya akan berbekas untuk
waktu yang lama. Penyimpangan (deviasi) prinsip-prinsip tersebut dapatlah
memicu timbulnya kekerasan. Sebagai contoh, berbicara kasar, berbicara saja
tanpa tindakan, berbicara bohong, berbicara dengan keras, tidak jelas,
menyakitkan, menyinggung perasaan, merendahkan orang lain, dan tidak
transparan.
Dalam praktik sehari-hari, perilaku berbahasa yang tidak
mengindahkan nilai-nilai dan hakikat fungsi bahasa seperti itu semakin banyak
ditemukan di masyarakat kita saat ini. Perilaku yang tidak terpuji ini
ironisnya banyak dilakukan di alam reformasi. Apakah ini merupakan cerminan
dari euforia demokrasi yang kebablasan. Entah apa. Perilaku berbahasa yang
buruk itu dilakukan oleh semua lapisan: golongan bawah, golongan menengah,
bahkan elite politik negeri ini. Sindir-menyindir, saling menghujat, provokasi,
dan saling mengancam tidak asing terdengar keluar dari mulut para pemimpin.
"Mulutmu harimaumu", itu kata pepatah yang masih
tetap relevan. Akibat dari penggunaan bahasa yang tidak terpuji itu kini
masyarakat dan elite politik mudah sekali bermusuhan, melakukan tindak anarkis,
merusak, dan lain sebagainya.Pendek kata, negeri ini sangat rentan dan rawan
dengan konflik-konflik, friksi-friksi, perkelahian, pembunuhan, dan perusakan
yang tak berkesudahan.
Dalam rangka reformasi pendidikan, selayaknyalah dipikirkan
juga bagaimana sekolah dapat berperan agar anak didik khususnya, dan masyarakat
pada umumnya tidak berbahasa untuk melakukan tindakan kekerasan dan tidak
memicu kekerasan. Hendaknya anak didik berbahasa Indonesia yang sopan dan
beradab, yang berfungsi memelihara serta membangun kerja sama kerukunan.
Beberapa hal yang dapat dipikirkan yaitu pertama, sekolah
hendaknya memberi penghargaan yang wajar pada bahasa dan budaya. Kedua,
pelajaran bahasa menggunakan pendekatan komunikatif tetap menekankan perlunya
kesopanan berbahasa. Ketiga, semua warga sekolah dikondisikan dan disiplinkan
untuk berbahasa dengan sopan.
Tentang berhasa yang sopan ini, sangat selaras dengan sabda
Rasul yang mulia, "Tidaklah seharusnya orang menyuruh yang makruf da
mencegah yang mungkar, kecuali memiliki tiga sifat, yakni lemah lembut dalam
menyuruh dan melarang (mencegah), mengerti apa yang harus dilarang, dan adil
terhadap apa yang harus dilarang".
Berdemonstrasi menyampaikan tuntutan dan aspirasinya adalah
hak setiap orang yang mesti diperjuangkan. Namun penyampaian itu hendaknya
disampaikan secara beretika. Aksi-aksi jangan seakan membenarkan atau
melegalkan kata-kata sekasar apa pun dilontarkan di depan publik. Stoplah sudah
kata-kata yang mengumbar bibit-bibit kebencian, membakar amarah, memancing
emosi, mendorong anarkisme, dan menebar provokasi. Hentikan kata-kata yang
hanya memancing kericuhan dan bentrokan fisik dengan aparat atau pihak lain.
Demikian juga dengan para pemimpin bangsa, hendaknya menjunjung etika
berbahasa. Perilaku berbahasa pemimpin bangsa dan elite politik yang kerap
menimbulkan perseteruan telah berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat di
level akar rumput. Semua itu hanya menghabiskan energi dan membuat rakyat
semakin menderita.
Momentum Idulfitri yang melambangkan kesucian hati dan
peringatan Bulan Bahasa yang dilakukan tiap bulan Oktober ini seyogianya dapat
menggugah kesadaran berbahasa dengan sopan dan santun. Bagi dunia pendidikan,
pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa lainnya diharapkan
mampu menginternalisaikan dan mengartikulasikan nilai-nilai etika berbahasa
dalam perilaku verbal kita sehari-hari. Pusat Bahasa yang berotoritas membina
dan mengembangkan bahasa hendaknya lebih berperan nyata lagi dalam mendorong
masyarakat menggunakan bahasa Indonesia yang santun. Lembaga ini jangan hanya
berkutat pada riset-riset dan pembakuan bahasa yang hanya menjadi "menara
gading" bagi masyarakatnya.
Karena bahasa mencerminkan pencitraan pribadi, jati diri
bangsa, dan keselamatan hidupnya, sejatinya pemimpin bangsa, elite politik,
masyarakat, dan setiap diri berupaya menggunakan bahasa dengan sopan, santun,
dan beradab. Wallahu a'lam.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Guru dan Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi
anak, karena merekalah anak mula-mula menerima pendidikan-pendidikan serta anak
mampu menghayati suasana kehidupan religius dalam kehidupan keluarga yang akan berpengaruh
dalam perilakunya sehari-hari yang merupakan hasil dari bimbingan orang tuanya,
agar menjadi anak yang berakhlak mulia, budi pekerti yang luhur yang berguna
bagi dirinya demi masa depan keluarga agama, bangsa dan negara.
3.2.Saran
Hendaklah Guru dan orang tua selalu memberikan perhatian
yang jenuh kepada anak-anak dalam membina akhlak bukan hanya menyuruh anak agar
melakukan perbuatan yang baik tetapi hendaklah Guru dan orang tua selalu
memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya
Serta Guru dan orang tua tampil selalu tauladan baik,
membiasakan berbagai bacaan dan menanamkan kebiasaan memerintah melakukan
kegiatan yang baik, menghukum anak apabila bersalah, memuji apabila berbuat
baik, menciptakan suasana yang hangat yang religius (membaca Al-Qur'an, sholat
berjamaah, memasang kaligrafi, Do'a-Do'a dan ayat-ayat Al-Qur'an), menghapal,
menumbuhkan gairah bertanya dan berdialog.
DAFTAR PUSTAKA
Alb V Dian Sano, 2005. 24 jam
menguasai HTML, JSP, dan MySQL Yogyakarta : Penerbit Andi
Ali Akbar, ST. 2005. Membuatpresentasidengan
PowerPoint 2003 Bandung :M2S
Andi Setiawan, S.Kom, 2006. Mudah
Tepat Singkat Pemrograman HTML Bandung : CV. Yrama Widya
Firrar Utdirartatmo. 2005. Praktis
dan Mudah Administrasi MySQL berbasis GUI