Tuesday, December 5, 2017

Makalah Teori Biaya Minimalisasi biaya untuk memproduksi jumlah yang sama (EFISIENSI SISTEM PRODUKSI RIBA DAN SISTEM BAGI HASIL)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Teori biaya merupakan kumpulan dari penalaran, gagasan, dan penjelasan lain yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan  perilaku biaya. Pertama, fokus pembahasannya adalah beban yang harus ditanggung. Kedua, perilakunnya hampir sama. Jadi apabila biaya produksi kita gunakan disini sering kali dimaksudkan juga untuk mencakup biaya pemasaran. Selanjutnya teori biaya biasanya disusun atas dasar anggapan bahwa biaya penyediaan barang bagi konsumen sebagian besar adalah biaya produksi.
Apabila biaya pemasaran dibedakan dari biaya produksi dan dibahas secara terpisah, tidah akan merusak pola penalaran yang telah kita letakkan. Maka pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tentang “Teori Biaya Islam” yang bertujuan untuk memahami tentang teori-teori biaya yang berdasarkan syariat Islam.

B. Rumusan Masalah
1.  Apa yang dimaksud dengan analisis biaya?
2.  Bagaimana cara meminimalisasikan biaya untuk memproduksi jumlah yang sama?
3.  Bagaimana cara memaksimalkan produksi tanpa kenaikkan atau perubahan biaya?

C. Tujuan
1. Untuk memahami tentang analisis biaya
2. Untuk mengtahui cara meminimalisasi biaya untuk memproduksi jumlah yang sama
3. Untuk mengetahui cara memaksimalkan produksi tanpa kenaikan atau perubahan biaya







PEMBAHASAN

A.    Analisis Biaya
Menurut Sudarsono biaya dalam pengertian ekonomi mempunyai pengertian ekonomi adalah semua beban yang harus ditanggung untuk menyediakan barang agar siap dipakai konsumen. Jadi dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa analisis biaya adalah suatu teknik yang digunakan untuk membandingkan berbagai biaya yang terkait dengan investasi dan manfaat yang ingin di dapatkan.
Menurut Soeharno yang dimaksud biaya produksi yaitu semua pengeluaran yang digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa.  Menurut Sadono Sukirno, yang dimaksud dengan biaya produksi yaitu semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksikan perusahaan tersebut.
Menurut Yoopi Abimanyu teori biaya merupakan fundamental atau framework dari teori supply karena teori biaya menentukan apakah suatu perusahaan akan berproduksi atau tidak dan berapa produksinya. Menurutnya analisis teori biaya dibagi menjadi empat bagian, yaitu sebagai berikut:
1.   Konsep dasar
a.   Biaya fixed dan biaya variable
Dalam jangka pendek, ada input-input yang fixed. Karena input-input ini harus dibayar tanpa memperdulikan jumlah output, pembayarannya konstan. Biayanya disebut fixed cost. Contohnya angsuran hutan bulanan.  Dalam jangka panjang, semua input menjadi variabel. Biayanya disebut variabel cost. Bila output naik, input juga naik. Jadi, bila output naik, biaya variabel naik. Contohnya adalah tenaga kerja, sumber daya, atau modal.
b.      Biaya eksplisit dan biaya implisit
Biaya implist adalah jumlah yang sebenarnya bisa diterima akibat alternatif penggunaan dari waktunya sang pemilik / manajer dan dari sumber daya. Biaya mplisit harus ditambahkan kebiaya eksplisit untuk mendapatkan biaya total (total cost). Sedangkan biaya eksplisit, yaitu biaya untuk membayar tenaga kerja, modal, dan lain-lain.

2.   Konsep biaya jangka pendek
a.       Total cost jangka pendek
Short – run Total Cost = Fixed Cost + Variable Cost (dalam jangka pendek). Dalam jangka pendek terdapat input yang fixed, dimana biaya pembeliannya adalah fixed cost. Input sisanya dalah variabel dan biayanya adalah variabel cost. Jumlah total fixed dan variabel (baik eksplisit maupun implisit) adalah short – run total cost.
Kurva diatas menunjukkan kurva total cost dalam jangka pendek untuk setiap unt output dengan beberapa input yang fixed. Bila output nol, total fixed cost adalah F. Ini adalah jumlah biaya fixed input yang harus dibayar berapa pun tingkat output. Total variabel cost adalah short – run total cost dikurangi total fixed cost.
b.      Average cost dan marginal cost jangka pendek
Average total cost mencapai minimum pada saat output mencapai Q3, dimana Q3lebih besar dari Q2 (Q2 adalah nilai minimum dari average variabel cost / AVC). Hal ini terjadi karena ATC = AFC + AVC. Karena AFC makin lama makin kecil, dengan demikian AVC makin lama mendekati ATC pada saat output naik.
c.       Hubungan antara biaya jangka pendek dan produksi
Tabel Hubungan antara Biaya dan Produksi
(asumsi : wage / upah = 100)
T.K
Output (Q)
AP
MP
TVC
AVC
MC
3
32
-
300
9.38
-
4
40
10
8
400
10.00
12.5

Berdasarkan asumsi bahwa gaji T.K adalah 100 untuk 3 TK, TVC = 3*100 = 300, untuk produksi 40 output (dengan menggunakan 4 TK), TVC = 4*100 = 400. Dengan demikian, AVC untuk output (Q) = 40 adalah TVC / Q = 400 / 40 = 10. Karena AVC = TVC / Q = (L*W) / (L*AP) = (4*100) / (4*10) = 100 / 10 = W / AP, maka AVC = W / AP.
Untuk AVC, pada saat AP naik (dengan asumsi W konstan), AVC akan turun. Pada saat AP turun, AVC akan naik. Karena AP mula-mula naik, mencapai maksimum, kemudian turun, maka AVC mula-mula turun, mencapai minimum, kemudian naik. Jadi, karena AP bentuknya  maka AVC bentuknya .
3.   Konsep biaya jangka panjang
Yang dimaksud dengan jangka panjang (long - run) adalah keadaan dimana semua input adalah variabel. Jadi, salah satu keputusan yang harus diambil oleh pemilik perusahaan atau manajer adalah skala perusahaan, jadi seberapa besar perusahaannya.
a.    Dari fungsi produksi menjadi grafik biaya
Asumsi dasar disini adalah:
ü  Jumlah penggunaan input tidak akan mempengaruhi harga input yang harus dibayar (harga input konstan).
ü  Manajer dapat mencari “expansion path” karena fungsi produksi untuk masing-masing level output dapat dicari.
Tabel Biaya Jangka Panjang (Long – run Cost)
Di mana TK @ 5 dan Kapital @ 10
Output (Q)
Least – cost Usage
Total Cost
Average Cost
Marginal Cost
TK
Kapital
100
10
7
120
120
1.20
200
12
8
140
0.70
0.20
300
20
10
200
0.67
0.60
400
30
15
300
0.75
1.00
500
40
22
420
0.84
1.20
600
52
30
560
0.93
1.40
700
60
42
720
1.03
1.60

Kolom 1 adalah output, kolom 2 dan 3 adalah kombinasi optimal dari kapital dan tenaga kerja per unit output pada harga input yang given (tertentu). Kombinasi ini memberi 7 titik pada expansion path.  Kolom 4 adalah total cost pe unit.
Kurva LRTC ini di-derive dari expansion path O P’ B’ R’ S’. Setiap titik pada LRTC di-derive dengan cara yang sama. Sudah tentu dalam jangka panjang perusahaan bisa saja menggunakan berbagai jumlah dan kombinasi input untuk produksi output.
Total jangka panjang atau long – run total cost (LRTC) adalah least cost (biaya minmum), dimana masing-masing tingkat output dapat dihasilkan melalui berbagai kombinasi jumlah input dengan biaya minimum.
b.   Aberage cost dan marginal cost jangka panjang
Average cost jangka panjang atau long – run average cost (LRAC) = long – run total cost dibagi dengan output (Q), atau long – run marginal cost (LRMC) = LRTC / Q.
c.    Economies dan diseconomies of scale
Dengan asumsi harga input konstan, adanya increasing returns to scale mengakibatkan kurva average cost (AC) turun. Hal ini disebut economies of scale. Sebaliknya, decreasing returns to scale mengakibatkan kurva average cost (AC) naik. Hal ini disebut diseconomies of scale.
Contohnya, pada increasing return to scale. Bila input naik 2 kali, output akan naik lebih besar dari 2 kali (misalnya 4 kali). Jadi, dengan kenaikan total biaya (TC) sebesar 2 kali, output (Q) akan naik 4 kali (asumsinya harga input tetap). Akibatnya average cost (AC) turun atau TC / Q turun.
Bila ada decreasing returns to scale, kenaikan input sebesar 2 kali akan mengakibatkan kenaikan output lebih kecil dari 2 kali (misalnya 1 kali). Jadi dengan kenaikan total biaya (TC) sebesar 2 kali, output (Q) hanya naik 1 kali. Akibatnya average cost (AC) akan naik atau TC / Q naik.
Pada prinsipnya, increasing returns to scale mengakibatkan eonomies of scale dimana long – run average cost (LARC) turun. Jadi, sesudah mengoptimalkan penggunaan input, biaya produksi turun, meskipun perusahaan meningkatkan output.
4.   Hubungan antara jangka pendek dan jangka panjang
Menurut Adiwarman A Karim dalam analisis biaya, faktor penggunaan modal sangat menjadi perhatian, karena dalam kenyataan  ada beberapa sumber modal yang digunakan produsen, sedangkan karakter dari biaya modal sangat tergantung dari sumber penggunaan modal tersebut. Contohnya  penggunaan sumber modal yang berbasis bunga tentunya berbeda dengan sumber modal yang berbasis syirkah.
Menurut Adiwarman A Karim komponen biaya dapat dibagi menjadi tiga yaitu biaya tetap (fixed cost, FC), biaya variabel (variable cost, VC), dan biaya keseluruhan (total cost, TC). Sedangkan komponen penerimaan merupakan penerimaan keseluruhan (total revenue, TR). Analisis yang paling fundamental untuk menerangkan analisis biaya adalah adanya fungsi hubungan antara biaya produksi dan tingkat output yang akan dicapai dalam satu periode. Dengan kata lain, fungsi biaya akan dipengaruhi oleh berapa besar output yang diproduksi.
Sedangkan bila kita bandingkan formula di atas dengan fungsi output, Maka dapat dikatakan bahwafungsi biaya tidak lain adalah turunan dari fungsi output produksi. Fixed cost besarnya tidak dipengaruhi oleh berapa banyak output atau produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, kurva FC digambarkan sebagai garis horizontal: berapapun output yang dihasilkan, biayanya tetap. Sedangkan nilai variabel cost akan semakin meningkat setiap kali ada penambahan input.
Dengan demikian kurva AC berlereng positif ke kanan. Sedangkan total cost adalah penambahan antara AC dan FC. Variable cost besarnya ditentukan langsung oleh berapa banyak output yang dihasilkan. Misal untuk 1 kg beras yang dihasilkan diperlukan biaya Rp 1000,00. Berarti untuk memproduksi 2 kg beras, biayanya Rp 2000,00, dan seterusnya.

Menurut David C. Colander dalam bukunya yang berjudul Microeconomiesmenggunakan analisis biaya dalam dunia nyata yaitu :
Terlalu sering mahasiswa berjalan dan belajar ekonomi pengantar berpikir bahwa analisis biaya adalah topik yang relatif mudah. Menghafal nama-nama, bentuk, dan hubungan dari kurva, dan anda bebas. Dalam model buku teks, itu benar. Dalam kehidupan nyata itu tidak, karena proses produksi aktual ditandai dengan economies of scope, belajar dengan melakukan dan perubahan teknologi, banyak dimensi, tidak terukur, biaya, biaya bersama, biaya terpisahkan, ragu-ragu, asimetri, dan beberapa perencanaan dan penyesuaian banyak dengan periode berbeda yang berjalan singkat. Dan ini adalah daftar singkat.
 Dari pernyataan David tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar ekonomi dalam topik dan kehidupan nyata itu berbeda. Dalam topik kita membahas, menghafal nama-nama, bentuk, dan hubungan dengan kurva. Sedangkan dalam kehidupan nyata itu berbeda, karena dalam kehidupan nyata itu melalui banyak proses, perencanaan, dan penyesuaian.


B.     EFISIENSI PRODUKSI DAN SKALA EKONOMI
Dalam sistem ekonomi suatu sistem produksi dikatakan lebih efisien bila memenuhi salah satu dari kriteria ini :
a.       Minimalisasi biaya untuk memproduksi jumlah yang sama
b.      Maksimalisasi produksi dengan jumlah biaya yang sama.
Dengan kriteria ini mari kita lihat mana yang lebih efisien sistem produksi dengan sistem bunga atau dengan sistem bagi hasil.

a.      Minimalisasi Biaya Untuk Memproduksi Jumlah Yang Sama

Untuk melihat ini, kita gunakan kurva total cost yang membandingkan antara total cost sistem bunga dengan total cost sistem bagi hasil. Sebgaimana dijelaskan terdahulu,total cost sistem bunga akan lebih tinggi dari pada sistem total cost bagi hasil.
Pada kurva dibawah ini secara grafis, total cost sistem bagi hasil digambarkan dengan TC, sedangkan total cost sistem bunga digambarkan dengan TCi.  Dibawah ini adalah kurva untuk mengilustrasikan perbandingan efesiensi TC dan TCi. Untuk dapat memahami kurva dibawah ini maka perhatikanlah langkah-langkah berikut.
Pertama pada kurva dibawah ini ada sumbu X yang menggambarkan tingkat produksi yang sama (Q). Dan sumbu Y yang menggambarkan total biaya yang sama (TC). Pada sumbu X ambilah titik mana saja sebagai titik yang menggambarkan tingkat produksi yang sama (Q yang sama). Kemudian tariklah garis vertikal sampai memotong TC dan TCi. Untuk masing masing perpotongan antara garis vertikal dengan TCdan TCrs/ps, tariklah garis horizontal ke sumbu Y.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsKX6R_UiXyY7jMGDR24NGEylL1oKkryEyDknFeV1jdbggiLeDvl1z6xrQgXZ82Ty4RyJyD6PVTTwHsk0Qxa5yhp4TLpYssRhLIDAh-x7ncLnZFGRIigJsCO3T1BBc2Of-GzrXfFLqeW4/s320/A.jpg
Dari kurva diatas ternyata untuk tingkat produksi yang sama (Q yang sama), total biaya sistem bagi hasil TCrs/ps selalu lebih kecil dibandingkan total biaya dengan sistem bunga (TCi). Jadi menurut kreteria ini, produksi dengan sistem bagi hasil lebih efesien dibandingkan dengan sistem bunga.

b.      Maksimalisasi Produksi Tanpa Kenaikan Atau Perubahan Biaya

Untuk melihat ini, kita gunakan kurva total cost yang membandingkan antara total cost sistem bunga dengan total cost sistem bagi hasil. Sebgaimana dijelaskan terdahulu,total cost sistem bunga akan lebih tinggi dari pada sistem total cost bagi hasil.
Pada kurva dibawah ini secara grafis, total cost sistem bagi hasil digambarkan dengan TC, sedangkan total cost sistem bunga digambarkan dengan TCi. Dibawah ini adalah kurva untuk mengilustrasikan perbandingan efesiensi TC dan TCi. Untuk dapat memahami kurva dibawah ini maka perhatikanlah langkah-langkah berikut.
Pertama pada kurva dibawah ini ada sumbu X yang menggambarkan tingkat produksi yang sama (Q). Dan sumbu Y yang menggambarkan total biaya yang sama (TC). Pada sumbu Y ambilah titik yang diatas garis FCi. Kemudian tarik garis horizontal sampai memotong TC dan TCi, tariklah garis vertikal ke bawah ke sumbu X.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnljPkXeZByVtbY-_Sg_ya63rdUfcQQ1tuosnKOLMqNkObxnSHjw311gS_9smAQXB6-_xvCBU7geIW0yEEkdHB8q6FJK1W1Q2XEai4m_yh-e8g-5HCG5ja8_VyBEpdLO66zliqUMPeSYY/s320/max.jpg

Dari kurva diatas ternyata untuk total cost yang sama (TC yang sama), jumlah produksi sistem bagi hasil (Q) selalu lebih besar dibandingkan dengan sistem bunga(Qi).Jadi menurut kreteria ini, produksi dengasistem bagi hasil lebih efesien dibandingkan dengan sistem bunga.
C.    Implikasi lain : Skala Ekonomi
Dari segi efisiensi produksi kita telah menunjukan bahwa produksi dengan sistem bagi hasil lebih efisien. Sekarang kita akan melihat implikasi lain, yaitu skala ekonomi. Untuk melihat ini, kita gunakan kuva total revenue yang membandingkan total revenue sistem bagi hasil dengan total revenue sistem bunga. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, total revenue sistem bagi hasil akan berputar kearah jarum jam, sedangkan total revenue sistem bunga tetap pada tempatnya tidak berputar . secara grafis, total revenue sistem bagi hasil digambarkan dengan TRrs, total revenue untuk sistem bagi keuntugan (profit sharing) dinotasikan dengan TRps. 
Ambilah titik mana saja pada sumbu Y sebagai titik yang menggambarkan total revenue yang sama (TR yang sama). Kemudian tariklah garis horizontal sampai memotong TR dan TRrs. Untuk masing-masing perpotongan antara garis horizontal dengan TR dan TRrs, tariklah garis vertical kebawah ke sumbu X. ternyata untuk total revenue yang sama (TR yang sama), jumlah produksi sistem bagi hasil (Q) selalu lebih besar dibandingkan jumlah produksi dengan sistem bunga (Qi). Jadi sistem bagi hasil bukan saja lebih efisien, tetapi juga akan mendorong produsen untuk berproduksi pada skala ekonomi yang lebih besar.

D.    Sistem Ekonomi Ribawi
Salah satu penyebab utama munculnya krisis ekonomi dan keuangan di berbagai belahan dunia adalah praktek ribawi dan spekulasi finansial dalam aktivitas perekonomian. Islam dengan tegas mengharamkan riba dan spekulasi tersebut untuk dipraktekkan dalam sistim ekonomi umatnya.  Inilah yang menjadi pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.  Ekonomi kapitalisme secara nyata menghalalkan bunga dan praktek spekulasi.
Pengharaman  riba menurut  ekonomi Islam memiliki argumentasi yang rasional. Afzalur Rahman dalam buku Economic Doctrines in Islam,   telah memaparkan secara mendalam dan komprehensif tentang alasan-alasan larangan bunga dalam perekonomian. Demikian pula dalam buku Muhammad sebagai Pedagang (Muhammad as A Trader), Afzalur Rahman juga menjelaskan keburukan sistem bunga dalam perekonomian.
Menurut Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya "Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi, setidaknya, disebabkan oleh :
Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mahu tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul. Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?
Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.
Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.
Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Kehadiran krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.
Bagaimana skenario sistem ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi umat, secara detail dapat disebutkan sebagai berikut.
Dalam dunia perbankan yang menganut sistim ribawi tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.
Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistim[2]ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mahu tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.
           Tak bias dibantah bahwa Interest rate (bunga) merupakan faktor yang sangat menentukan akan ketidak stabilan ekonomi dunia saat ini. Menurut Friedman (1982) sebagaimana yang dikutip Umer Chapraattributed the unprecedentedly erratic behavior of the US economy to the behavior of interest rates.Tingginya volatilitas dari interest rate mengakibatkan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dalam financial market sehingga investor tidak berani untuk melakukan investasi-investasi jangka panjang. Akibat dari ketidak pastian ini menggiring borrower maupun lender lebih mempertimbangkan pinjaman maupun investsi jangka pendek yang pada gilirannya membuat investasi-investasi jangka pendek yang berbau spekulasi lebih manarik, sehingga masyarakat lebih senang mengambil keuntungan pada pasar-pasar komoditi, saham dan valuta asing. Keadaan tersebut membuat pasar-pasar tersebut semakin aktive dan memanas yang merupakan salah satu penyebab ketidakstabilan ekonomi dunia saat ini.
            Berdasarkan survey yang dilaksanakan oleh Bank for International Investment (BIS), total turnoverperdagangan valuta asing mencapai $1230 milliar per hari  kerja pada April 1995, yang sangat berbeda jauh dibandingkan pada April 1992 dan 1989 yang masing-masing hanya $880 milliar dan $620 milliar. Tingginya tingkat turnover tersebut terutama berkaitan dengan derivatives contract (futeres and options). Masih berdasarkan hasil survey BIS diperkirakan nilai total dari derivative contracts mencapai sekitar $40700 milliar pada 31 Maret 1995 dengan volume harian sebesar $839 milliar. Volume harian tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan volume harian export dan import yang hanya mencapai 26,3 milliar pada kwartal pertama tahun 1995. Bila pakar bankir mempertimbangkan pemanfaatan dari dana yang mereka salurkan dengan benar, maka tingginya penyaluran kredit untuk membiayai transaksi-transaksi yang spekulative tidak akan pernah terjadi, seperti yang tercermin dari angka-angka tersebut diatas. Seorang pemenang nobel tahun 1988, yaitu Maurice Allais (1993) semakin menyakinkan kita bahwa kredit memang digunakan untuk membiayai kegiatan spekulasi, sebagai berikut : Be it speculationon currencies or speculation on stocks and shares, the worls has become one big casino with gaming tables distributed along every latitude and longitude. The game ang the bids, in which millions of players take part, never cease. The American quatations are followed by those from Tokyo and Hongkong, from London, Frankfurt and Paris. Everywhere speculation is supported by crdit since one can buy without paying and selling without owning.
            Sedemikian besarnya perkembangan transaksi-transaksi keuangan yang berdasarkan derivatives contract sangat berpengaruh terhadap sistem pembayaran. Sebagai konsekwensi besarnya volume transaksi untuk kegiatan-kegiatan derivative adalah bila terjadi masalah keuangan disuatu region akan cepat menyebar keseluruh financial system melalui dominoes effect pada lembag-lembag keuangan. Menurut Crocket (1994) telah disadari bahwa our economies have thus become increasingly vulnerable to a possible breakdown in the payments system. Besarnya transaksi-transaksi derivative juga memiliki kontribusi terhadap semakin tingginya interest rate yang cenderung memperkecil kegiatan-kegiatan investasi yang produktive. Hal tersebut juga mengakibatkan ketidak stabilan yang berlebihan pada pasar valuta asing. Usaha-usaha yang dilakukan oleh central banks melalui perubahan-perubahan interest rate ataupun melalui intervention ternyata secara umum telah terbukti tidak efektif.
            Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha mengatur komponen-komponen money demandatau manajemen melalui interest rate cenderung memperkecil money demand untuk kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar dan investasi yang produktive dan cenderung memperbesar money demand untuk kegiatan-kegiatan yang tidak produktive dan spekulative, yang pada gilirannya mengakibatkan kegagalan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan ekonomi suatu negara. Karena money demand untukconspicunous consumption dan spekulasi cenderung lebih tidak stabil, keadaan ini mengakibatkan ketidak stabilan sektor moneter, yang pada gilirannya mengkibatkan ketidak stabilan bagi perekonomian secara keseluruhan.





















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
      Jadi dapat disimpulkan Dalam sistem ekonomi suatu sistem produksi dikatakan lebih efisien bila memenuhi salah satu dari kriteria ini :
1.      Minimalisasi biaya untuk memproduksi jumlah yang sama
2.      Maksimalisasi produksi dengan jumlah biaya yang sama.
Dan sistem ekonomi ribawi Salah satu penyebab utama munculnya krisis ekonomi dan keuangan di berbagai belahan dunia adalah praktek ribawi dan spekulasi finansial dalam aktivitas perekonomian. Islam dengan tegas  mengharamkan riba dan spekulasi tersebut untuk dipraktekkan dalam sistim ekonomi umatnya.  Inilah yang menjadi pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.  Ekonomi kapitalisme secara nyata menghalalkan bunga dan praktek spekulasi.

B.     Kritik Dan Saran
            Saya menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini, maka dariitu penulis mengharapkan masukan dari para pembaca. Dan penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi bahan referensi pembelajaran khususunya tentang Ssistem Produksi Ribawi Dan Bagi Hasil











DAFTAR PUSTAKA

Ir. Adiwarman A. karim, S.E,M.B.A.,M.A.E.P. Ekonomi Mikro Islami,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2015)
N.Greogory Mankiw,Euston Quah, Peter Wilson. Pengantar Ekonomi Mikro (Jakarta: Salemba Empat, 2012)
Sumarin,S.EI,M.S.I. Ekonomi Islam Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Perspektif  Islam  (Yogyakarta :Graha Ilmu, 2013)

Sudarsono, Pengantar Ekonomi Mikro, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesi, 1995), hal 187
Soeharno, Ekonomi Manajerial, (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2007), hal. 145
Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Teori Pengantar, (Jakarta : Rajawali Pers 2009), hal. 208
Yoopi Abimanyu, Ekonomi Manajerial, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal 65
Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: Rajawali Pers,  2015), hal 138
David C Colander, Microeconomics, (New York: MC Grow Hill, 2004), hal 228
Robert H. Franks dan Ben S. Bernanke, Principles of Micro Economics, (New York: MC Grow Hill, 2004), hal 145


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home