Makalah Muamalah Jual Beli
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Allah Swt, telah menjadikan manusia
masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong,
tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing,
baik dengan jalan jual beli,sewa-menyewa,bercorak tanam, atau perusahaan yang
lain-lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemasalahan umum.
Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian
yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak
tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing
jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga kemashlatan umum agar pertukaran
dapat berjalan dengan lancer dan teratur.
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan
barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad). Jual beli dapat
didefinisihkan memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling
mengganti, dikatakan:” Ba’a asy-syaia jika dia mengeluarkannya dari hak
miliknya, dan ba’ahu jika dia membelinya dan memasukkanya ke dalam hak
miliknya, dan ini masuk dalam kategori nama-nama yang memiliki lawan kata jika
disebut ia mengandung makna dan lawannya seperti perkataan al-qura yang berarti
haid dan suci.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pengertian Jual Beli ?
2. Bagaimana Dasar hukum Jual Beli ?
3. Bagaimana Rukun Jual Beli ?
4. Bagaimana macam-macam Jual Beli ?
5. Bagaimana prinsip-prinsip Jual Beli Dalam
Islam ?
1.3 TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Pengertian Jual Beli !
2. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Jual Beli !
3. Untuk Mengetahui Rukun Jual Beli !
4. Untuk Mengetahui Macam-macam Jual Beli !
5. Untuk Mengetahui Prinsip-prinsip Jual Beli
Dalam Islam!
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Jual Beli
· Pengertian Jual beli Segi Bahasa
Pengertian
jual beli secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan
akad saling mengganti, dikatakan: “Ba’a asy-syaia jika dia
mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba’ahu jika dia
membelinya dan memasukkannya kedalam hak miliknya,dan ini masuk dalam kategori
nama-nama yang memiliki lawan kata jika disebut ia mengandung makna dan
lawannya seperti perkataan al-quran yang berarti haid dan
suci.Demikian juga dengan perkataan syara yang berarti
menjual. Allah berfirman: Dan mereka menjualnya dengan harga
yangsedikit, arinya mereka menjual Yusuf,karena masing-masing pihak
telah mengambil ganti dan memberi ganti, yang satu sebagai penjual dengan yang
ia beri dan pembeli dengan apa yang ia ambil, maka kedua nama ini layak untuk
dijadikan sebagai sebutannya.[1]
· Pengertian
Jual Beli Segi Istilah
Adapun makna bay’I (Jual
Beli) menurut istilah ada beberapa definisih dan yang paling bagus adalah
definisih yang disebutkan oleh Syaikh Al-Qlyubi dalam Hasyiyah-nya
bahwa: :Akad saling mengganti dengan harta yang brakibat kepada kepemilikan
terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan untuk
bertaqarrub kepada Allah. “Dengan kata” saling mengganti”, maka tidak termasuk
di dalamnya hibah, dan yang lain yang tidak ada saling ganti, walaupun ada
saling ganti namun ia bukan mengganti harta dengan harta akan tetapi halalnya
bersenang-senang antara suami dan istri, dan dengan kata “kepemilikan harta dan
manfaatnya untuk selama-lamanya”, maka tidak termasuk didalamnya akad sewa
karena hak milik dalam sewa bukan kepada bendanya akan tetapi manfaatnya
setimpal dengan jumlah bayarannya yang dikeluarkan dan manfaatnya, contohnya
mobil dari rumah tidak dimiliki bedannya tapi manfaatnya setimpal dengan jumlah
bayaran yang dikeluarkan dan manfaat dalam akad ini juga dibatasi dengan waktu
tertentu. Adapun maksud manfaat yang langgeng dalam definisih jual beli adalah
seperti menjual hak tempat aliran air jika air itu tidak akan samapi ke tujuan
kecuali jika melaui perantara hak orang lain.
2.2 Dasar
Hukum Kebolehan Jual Beli
Jual beli telah
disahkan oleh Alquran,Sunnah, dan Ijma’umat.
Adapaun dalil dari Al-quran yaitu firman Allah
:
وَ اَحَلٌ اَلله اَ لبَيَحَ وَ حَرٌمَ الِرٌ بَوَا
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. (QS.Al-Baqarah (2): 275)
Riba adalah haram dan jual beli adalah
halal.Jadi tidak semua akad jual beli adalah haram sebagaimana yang disangka
oleh sebagian orang berdasarkan ayat ini.
Allah telah
mengharamkan memakan harta orang lain dengan cara batil yaitu tanpa ganti dan
hibah, yang demikian itu adalah batil berdasarkan ijma umat dan termasuk di
dalamnya juga semua jenis akad yang rusak yang tidak boleh secara syara’baik
karena ada unsur riba atau jahalah (tidak diketahui), atau karena kadar ganti
yang rusak seperti minuman keras, babi,dan yang lainnya dan jika yang diadakan
itu adalah harta perdagangan , maka boleh hukumnya, sebab pengecualian dalam
ayat di atas adalah terputus karena harta perdagangan bukan termasuk
harta yang tidak boleh dijualbelikan.
Adapun dalil sunnah di
antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah ,beliau
bersabdah :”Sesungguhnya Jual Beli itu atas dasar saling ridha.” Ketika
ditanya tentang usaha apa yang paling utama,Nabi menjawab :“Usaha seseorang
dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur.”
2.3 Hukum
Jual Beli
Jual beli bisa menjadi
wajib ketika dalam keadaan mendesak, bisa menjadi mandub pada waktu harga
mahal, bisa menjdai makruh seperti menjual mushaf, berbeda dengan Imam
Al-Ghazali, bisa juga menjadi haram jika menjual anggur kepada orang yang biasa
membuat arak, atau kurma basah kepada orang yang biasa membuat inuman arak
walaupun si pembeli adalah orang kafir dan selain yang diatas hukumnya boleh.[2]
Membedakan
Shafqah (Memegang Tangan)
Dinamakan shafqah sebab orang0orang Arab
saling memegang tangan (bersalaman) ketika melakukan akad jual beli, hubungan
antara barang yang dijual dengan penamaan ini karena unsur kedekatan, dan
maksud dari membedakan di sini dalah membedakan pengaruh akad dan termasuk
makna membedakan adalah perbedaan hukum baik sah berakad dengan sesuatu atau
rusak terhadap sesuatu yang lain baik dari permulaan atau secara terus-menerus.
Hukum
Menjual Rokok
Sebagaimana diketahui bahwa syarat sahnya satu
akad jual beli jika barang yang dijual bermanfaat yang menjadi tujuan secara syar’i.
Disebutkan dalam Hasyiyah Ar-Rasyidi : “yang
benar dalam masalah ini bahwa rokok membawa manfaat dari segi fungsi utamanya
yaitu untuk diisap dan ini termasuk yang mubah karena tidak ada dalil yang
mengatakan haram, maka mengambilnya sama dengan pemanfaatan terhadap sesuatu
yang mubah.
Pendapat yang benar dalah seperti yang
disebutkan oleh Syaikh Al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya, Bahwa Allah Berfirman :
وَ لَاتُسْرِ فُواْ إِ نٌهُ لَا تُحِبٌ اَلْمُسْرِ فِينَ
Dan
janganlah berlebih-lebihan.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan. (QS.Al-A’raf (7):31)
Hukum
Menjual Alat Musik
Ulama berbeda pendapat tentang hukum menjual
alat musik, apakah boleh atau tidak terdiri dari dua pendapat:
1. Boleh menjualnya dan ini pendapat yang sesat.
2. Walaupun dikatakan boleh tetapi manfaatnya
dalah haram hanya penulis perlu dilihat sesuatu yang lain yang menjadi sandaran
halal atau tidaknya barang ini yaitu bentuk alat itu sendiri, jika tidak bisa
dikatakan sebagai harta setelah dihancurkan, maka tidak boleh menjualnya karena
tidak ada manfaat secara syar’i.[3]
Adapun jika setelah
dihancurkan masih bernilai harta, untuk menjualnya dan menjual patung, dan
gambar-gambar yang terbuat dari emas dan perak dan yang lainya terdiri dari
tiga pendapat.:
1.
Akad batal. Ini adalah
pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat kebanyakan ulama.
2.
Akad tetap sah.
3.
Pendapat Al-Qadhi
Husaun dalam kitab Ta’liq-nya dan Al-Mutawalli, Imam Al-Haramain dan
Al-Ghazali.
2.4 Rukun
Jual Beli
Arkan adalah bentuk
jamak dari rukn.Rukun sesuatu berarti sisinya yang paling kuat,
sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk
terwujudnya satu akad dari sisi luar.
Rukun jual beli ada tiga : kedua belah pihak
yang berakad (aqidan), yang diadakan (ma’qud alaihi), dan shighat (lafal).
Oleh sebab itu, ada yang mengatakan penamaan pihak yang berakad sebagai rukun
bukan secara hakiki tetapi secara istilah saja, karena ia bukan bagian dari
barang yang dijual belikan yang didapati di luar, sebab akad akan terjadi dari
luar jika terpenuhi dua hal: yang pertama shighat yaitu ijab
danqabul.
1. Shighat
Shighat adalah ijab dan qabul,
dan ijab seperti yang diketahui sebelumnya diambil dari
kata aujaba yang artinya meletakkan, dari pihak penjual yaitu
pemberian hak milik, dan qabul yaitu orang yang menerima hak
milik. Jika penjual berkata: “bi’tuka” (saya jual kepadamu)
buku ini dengan ini dan ini,maka ini adalah ijab, dan ketika pihak
lain berkata : “qabiltu” (saya terima), maka inilah qabul.
Dan jika pmbeli berkata :” Juallah kepadaku kitab ini dengan harga begini” lalu
penjual berkata: “Saya Jual kepadamu”, maka yang pertama adalah qabul dan yang
kedua adalah ijab. Jadi dalam akad jual beli penjual selalu menjadi yang
ber-ijab dan pembeli menjadi penerima baik diwalkan atau diakhirkan lafalnya.
a. Permasalahan
Furu’
Pertama, ucapan pembeli boleh
didahuluhkan dari ucapan penjual, seperti jika dia berkata :’Juallah kepadaku
tanah ini dengan harga sekian,” tetapi jika dia berkata: “saya terima”, maka
ini tidak sah karena harus ada sesuatu sebelumnya dan tidak boleh dimulai
dengan itu.
Kedua, Jika dia berkata: “
Jual Kepadaku”, lalu dijawab:” Saya jual kepadamu, jual beli terjadi menurut
pendapat kedua tidak sah karena ada kemungkinan ucapan jual kepadaku sebagai
prtanyaan untuk mencari tahu apakah ada keinginan atau tidak, dan mazhab kami
dalam bab nikah tetap sah.[4]
b. Sharih
(Shighat yang jelas) dan Kinayah (Kiasan)
Perbedaan pendapat terjadi mengenai pemakaian
kata-kata kiasan dalam jual beli.Menurut pendapat yang paling shahih, akad jual
beli tetap sah dengan menggunakan kata-kata kiasan selama memang mengandung
makna jual Beli dan yang lainnya.Misalnya :” Saya jadikan ia milikmu
dengan harga begini ,ambillah ia dengan harga begini, atau semoga Allah
memberkahimu dengan barang itu sambil berniat jual beli.”
Semua ucapan ini mengandung makna jual beli
dan yang lainnya, makna tidak akan sah akadnya kecuali ada niat walaupun pada
bagian kecil shighat, karena tidak disyaratkan harus bergandengan
dengan setiap lafal berbeda dengan mereka yang berpendapat seperti itu.
c. Syarat-syarat
Shighat
Agar ijab dan Qbul menghasilkan pengaruh dan
akad mempunyai keberadaan yang diakui secara syar’I, maka wajib terpenuhi
beberapa syarat di bawah ini:
1)
Qabul harus sesuai
dengan ijab dalam arti kata sama baik jenis,sifat,ukuran,dan jatuh temponya dan
penundaan, jika ini terjadi, maka barulah dua keinginan akan bertemu dan saling
bercocokan.
2)
Tidak diselingi dengan
ucapan yang asing dalam akad. Perkataan asing dalam akad adalah ucapan yang
tidak ada hubungannya dengan akad seperti menerima bunga yang ada aib, dan
tidak termasuk maslahat bagi dia dengan memberikan syarat khiyar, meminta saksi
atau jaminan,dan bukan perkara mustahab jika dia berkhutbah.
3)
Tidak ada jeda diam
yang panjang antara ijab dan qabul, yaitu jeda yang bisa menggambarkan sikap
penolakan terhadap qabul.
4)
Orang memulai dengan
ijab dan qabul bersikukuh dengan ucapannya, melafalkan shighat yang bisa
didengar oleh orang yang dekat dengannya.
d. Jual
Beli dengan Sistem Mu’athah
Al-Mu’athah dan al-munawalah berasal dari kata
‘atha yu’thi jika di saling memberi bentuk mufa’alah (saling bekerja) dari kata
‘atha’ yaitu saling menyerahkan tanpa ada akad.Jual beli dengan system mu’athah
adalah jual beli yang hanya dengan penyerahan dan penerimaan tanpa ucapan atau
ada ucapan atau tetapi dari satu pihak saja namun kemudian kalangan ahli fiqh
memakainya untuk jual beli yang bersifat saling memberi secara khusus.[5]
Dari penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa terkait hukum jual beli dengan system mu’athah
berkembang tiga pendapat ulama:
Pertama, jual beli demikian
tidak sah sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang
lainya:” sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kepada sikap saling ridha.”
Kedua, jual beli demikian
sah dalam setiap barang yang kurang berharga seperti
roti,sayuran,susu,buah-buahan dan semua keperluan sehari-hari yang selalu
diperlukan.
Ketiga, jual beli demikian
sah dalam setiap yang dinamakan jual beli, artinya setiap yang dianggap jual
beli oleh adat kebiasaan orang dan mereka sudah biasa melakukan itu dan
menganggap sah jual beli itu tanpa ijab dan qabul, maka jual beli ini sah sebab
adat merupakan bagian dari sumber hukum syariat.
2.1 Macam-Macam
Jual Beli
Jual beli ditinjau dari segi hukumnya dibagi
menjadi dua macam yaitu :
1. Jual beli yang syah
menurut hukum dan batal menurut hukum.
2. Dari segi obyek jual
beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang yang dijadikan
obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat imam Taqiyuddin bahwa jual beli
dibagai menjadi tiga bentuk :
1. jual beli benda yang
kelihatan
Maksudnya adalah pada waktu melakukan akad
jual beli benda atyau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan
pembeli, seperti membeli beras dipasar dan boleh dilakukan.
2. Jual beli yang
disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
Sama dengan jual beli salam (pesanan), ataupun
yang dilakukan secara tidak tunai (kontan). Maksudnya ialah perjanjian sesuatu
yang penyarahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu.
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat
tambahannya ialah :
1)
Ketika melakukan akad
salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik
berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang maupun diukur.Dalam akad harus
disebutkan segala sesuatu yang bias mempertinggi dan memperendah harga barang
itu.
2)
Barang yang akan
diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapat dipasar. Harga hendakya
dipegang ditempat akad berlangsug.[1]
2.6
Prinsip-Prinsip Jual Beli Dalam Islam
Saudaraku! Kita adalah penduduk Indonesia yang bermazhabkan
dengan mazhab Imam As Syafi’i, maka sudah sepantasnyalah untuk mengamalkan
petuah
beliau… مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيهِ بِالعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ
الآخِرَةَ فَعَلَيهِ بِالعِلْم
“Barang siapa yang menginginkan keuntungan di
dunia, maka hendaknya ia berilmu dan barang siapa yang menginginkan keuntungan
akhirat, maka hendaknya ia juga berilmu.”
Petuah yang begitu indah dan layak untuk
dituliskan dengan tinta emas. Betapa tidak, apalah yang akan menimpa kita bila
kita beramal, baik urusan agama atau dunia tanpa dasar ilmu yang cukup.Bila
kita beramal dalam urusan agama tanpa dasar ilmu, maka tak ayal lagi kita akan
terjerumus ke dalam amalan bid’ah. Dan bila dalam urusan dunia, niscaya kita
terjerumus dalam perbuatan haram, atau kebinasaan.
Jauh-jauh hari Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu telah berpesan kepada kaum muslimin secara
umum:
اَ يَتَّجِرُ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ فَقُهَ وَإِلاَّ
أَكَلَ الرِّبَا. ذكره ابن عبد البر بهذا اللفظ.
ورواه مالك والترمذي بلفظ: لاَ يَبِعْ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ. حسنه الألباني
ورواه مالك والترمذي بلفظ: لاَ يَبِعْ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ. حسنه الألباني
“Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita
selain orang yang telah faham (berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan
riba.” (Ucapan beliau dengan
teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky)
Dan
ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga Imam At Tirmizy dengan
teks yang sedikit berbeda: “Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita selain
orang yang telah memiliki bekal ilmu agama.” (Riwayat ini dihasankan oleh Al
Albany).
Imam
Al Qurthuby Al Maliky menjelaskan: “Orang yang bodoh tentang hukum
perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk
diberi kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini
dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan terlarang dari yang
dibenarkan, transaksi halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikawatirkan
akan melakukan praktek riba dan transaksi haram lainnya.
Hal
ini juga berlaku pada orang kafir yang tinggal di negri Islam.”(Ahkaamul Qur’an oleh Imam Al Qurthuby Al Maaliky
5/29).
· SEBAB-SEBAB DIHARAM KANNYA
SUATU PERNIAGAAN
Bila telah dipahami bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah
halal, maka hal yang semestinya dikenali ialah hal-hal yang menjadikan suatu
perniagaan diharamkan dalam Islam.Karena hal-hal yang menyebabkan suatu
transaksi dilarang sedikit jumlahnya, berbeda halnya dengan perniagaan yang
dibolehkan, jumlahnya tidak terbatas. Imam Ibnu Rusyud Al Maliky berkata: “Bila
engkau meneliti berbagai sebab yang karenanya suatu perniagaan dilarang dalam
syari’at, dan sebab-sebab itu berlaku pada seluruh jenis perniagaan, niscaya
engkau dapatkan sebab-sebab itu terangkaum dalam empat hal:
Barang
yang menjadi obyek perniagaan adalah barang yang diharamkan.
1. Adanya unsur riba.
2. Adanya ketidak jelasan (gharar).
3. Adanya persyaratan yang memancing timbulnya
dua hal di atas (riba dan gharar).
Inilah hal-hal paling utama yang menjadikan
suatu perniagaan terlarang.” (Bidayatul Mujtahid 2/102)
Perincian dari keempat faktor di atas
membutuhkan penjelasan yang panjang dan lebar, sehingga pembahasannyapun
membutuhkan waktu yang lebih luas. Keempat faktor yang disebutkan oleh imam
Ibnu Rusyud di atas, adalah faktor terlarangnya suatu perniagaan dan
yang terdapat pada rangkaian perniagaan tersebut.[2]
Masih ada faktor-faktor lain yang menjadikan suatu perniagaan
dilarang, akan tetapi faktor-faktor tersebut merupakan faktor luar. Diantara
faktor-faktor tersebut ialah:
1. Waktu.
Dilarang bagi seorang
muslim untuk mengadakan akap perniagaan setelah muazzin mengumandangkan azan
kedua pada hari jum’at. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.” (Qs. Al Jum’ah: 9)
2. Penipuan.
Telah diketahui
bersama bahwa penipuan diharamkan Allah, dalam segala hal. Dan bila penipuan
terjadi pada akad perniagaan, maka tindakan ini menjadikan perniagan tersebut
diharamkan:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في
بيعهما، وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما. متفق عليه
“Kedua orang yang saling berniaga memiliki hak
pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah, dan bila keduanya berlaku jujur
dan menjelaskan, maka akan diberkahi untuk mereka penjualannya, dan bila mereka
berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan dihapuskan keberkahan
penjualannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan:
من غشنا فليس منا
“Barang siapa yang menipu kami, maka ia tidak
termasuk golongan kami.” (Riwayat Muslim)
3. Merugikan orang lain.
عن أبي هريرة رضي الله
عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لا تحاسدوا ولا تناجشوا ولا تباغضوا ولا
تدابروا ولا يبع بعضكم على بيع بعض وكونوا عباد الله إخوانا، المسلم أخو المسلم لا
يظلمه ولا يخذله ولا يحقره. متفق عليه
“Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah
engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak
ingin membelinya), janganlah saling membenci, janganlah saling merencanakan
kejelekan, janganlah sebagian dariu kalian melangkahi pembelian sebagian
lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim
adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, dan
tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Diantara bentuk-bentuk perniagaan yang
merugikan orang lain ialah:
a. Menimbun barang dagangan
Diantara bentuk penerapan terhadap prinsip ini
ialah diharamkannya menimbun barang kebutuhan masyarakat banyak, sebagaimana
disabdakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
من احتكر فهو خاطئ. رواه مسلم وغيره.
“Barang siapa yang menimbun maka ia telah
berbuat dosa.” (Riwayat Muslim)
b. Melangkahi penawaran atau penjualan sesama
muslim.
لا تلقوا الركبان ولا
يبع بعضكم على بيع بعض ولا تناجشوا ولا يبع حاضر لباد. رواه البخاري ومسلم
“Janganlah kamu menghadang orang-orang kampung
yang membawa barang dagangannya (ke pasar), dan janganlah sebagian dari kamu
melangkahi penjualan sebagian yang lain, dan jangalan kamu saling menaikkan
tawaran suatu barang (tanpa niat untuk membelinya), dan janganlah orang kota
menjualkan barang dagangan milik orang kampung.” (Riwayat Bukhary dan Muslim).[3]
c. Percaloan.
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم : لا يبع حاضر لباد دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض.
رواه مسلم
“Dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah orang kota
menjualkan barang-barang milik orang kampung, biarkanlah masyarakat, sebagian
diberi rizki oleh Allah dari sebagian lainnya.” (Riwayat Musli
BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Pengertian jual beli secara bahasa artinya
memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti,
dikatakan: “Ba’a asy-syaia jika dia mengeluarkannya dari hak
miliknya, dan ba’ahu jika dia membelinya dan memasukkannya
kedalam hak miliknya,dan ini masuk dalam kategori nama-nama yang memiliki lawan
kata jika disebut ia mengandung makna dan lawannya seperti perkataan al-quran yang
berarti haid dan suci.
Adapun makna bay’I (Jual
Beli) menurut istilah ada beberapa definisih dan yang paling bagus adalah
definisih yang disebutkan oleh Syaikh Al-Qlyubi dalam Hasyiyah-nya
bahwa: :Akad saling mengganti dengan harta yang brakibat kepada kepemilikan
terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu
selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah. “Dengan kata” saling
mengganti”, maka tidak termasuk di dalamnya hibah, dan yang lain yang tidak ada
saling ganti, walaupun ada saling ganti namun ia bukan mengganti harta dengan
harta akan tetapi halalnya bersenang-senang antara suami dan istri, dan dengan
kata “kepemilikan harta dan manfaatnya untuk selama-lamanya”, maka tidak
termasuk didalamnya akad sewa karena hak milik dalam sewa bukan kepada bendanya
akan tetapi manfaatnya setimpal dengan jumlah bayarannya yang dikeluarkan dan
manfaatnya, contohnya mobil dari rumah tidak dimiliki bedannya tapi manfaatnya
setimpal dengan jumlah bayaran yang dikeluarkan dan manfaat dalam akad ini juga
dibatasi dengan waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Aziz Muhammad Azzam, FIQH MUAMALAT, Jakarta
: AMZAH,2010
Sulaiman
Rasjid, FIQH ISLAM, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2012
Marjuqi
Yahya, PANDUAN FIQH IMAM SYAFI’I, Jakarta :
Al- Maghfirah
Rachmat
Syafe’I, ILMU USHUL FIQH, Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2010.
Suwarjin, USHUL
FIQH,Yogyakarta : Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012.
[1]Azzam Muhammad Aziz Abdul, “ FIQH
MUAMALAT”, Jakarta : AMZAH, 2010, Hlm 89-97
[2]Azzam Muhammad Aziz
Abdul, “ FIQH MUAMALAT”, Jakarta : AMZAH, 2010, Hlm 26-37
[3]Azzam Muhammad Aziz Abdul, “ FIQH
MUAMALAT”, Jakarta : AMZAH, 2010, Hlm 23-25
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home