Saturday, November 11, 2017

Makalah Muamalah Jual Beli

BAB I
PENDAHULUAN


1.1    LATAR BELAKANG

Allah Swt, telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli,sewa-menyewa,bercorak tanam, atau perusahaan yang lain-lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemasalahan umum. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga kemashlatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancer dan teratur.
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad). Jual beli dapat didefinisihkan memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti, dikatakan:” Ba’a asy-syaia jika dia mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba’ahu jika dia membelinya dan memasukkanya ke dalam hak miliknya, dan ini masuk dalam kategori nama-nama yang memiliki lawan kata jika disebut ia mengandung makna dan lawannya seperti perkataan al-qura yang berarti haid dan suci.

1.2    RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Pengertian Jual Beli ?
2.      Bagaimana Dasar hukum Jual Beli ?
3.      Bagaimana Rukun Jual Beli ?
4.      Bagaimana macam-macam Jual Beli ?
5.      Bagaimana prinsip-prinsip Jual Beli Dalam Islam ?

1.3    TUJUAN
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Jual Beli !
2.      Untuk Mengetahui Dasar Hukum Jual Beli !
3.      Untuk Mengetahui Rukun Jual Beli !
4.      Untuk Mengetahui Macam-macam Jual Beli !
5.      Untuk Mengetahui Prinsip-prinsip Jual Beli Dalam Islam!


  

BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Pengertian Jual Beli
·         Pengertian Jual beli Segi Bahasa
Pengertian jual beli secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti, dikatakan: “Ba’a asy-syaia jika dia mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba’ahu jika dia membelinya dan memasukkannya kedalam hak miliknya,dan ini masuk dalam kategori nama-nama yang memiliki lawan kata jika disebut ia mengandung makna dan lawannya seperti perkataan al-quran yang berarti haid dan suci.Demikian juga dengan perkataan syara yang berarti menjual. Allah berfirman: Dan mereka menjualnya dengan harga yangsedikit, arinya mereka menjual Yusuf,karena masing-masing pihak telah mengambil ganti dan memberi ganti, yang satu sebagai penjual dengan yang ia beri dan pembeli dengan apa yang ia ambil, maka kedua nama ini layak untuk dijadikan sebagai sebutannya.[1]

·         Pengertian Jual Beli Segi Istilah
Adapun makna bay’I (Jual Beli) menurut istilah ada beberapa definisih dan yang paling bagus adalah definisih yang disebutkan oleh Syaikh Al-Qlyubi dalam Hasyiyah-nya bahwa: :Akad saling mengganti dengan harta yang brakibat kepada kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah. “Dengan kata” saling mengganti”, maka tidak termasuk di dalamnya hibah, dan yang lain yang tidak ada saling ganti, walaupun ada saling ganti namun ia bukan mengganti harta dengan harta akan tetapi halalnya bersenang-senang antara suami dan istri, dan dengan kata “kepemilikan harta dan manfaatnya untuk selama-lamanya”, maka tidak termasuk didalamnya akad sewa karena hak milik dalam sewa bukan kepada bendanya akan tetapi manfaatnya setimpal dengan jumlah bayarannya yang dikeluarkan dan manfaatnya, contohnya mobil dari rumah tidak dimiliki bedannya tapi manfaatnya setimpal dengan jumlah bayaran yang dikeluarkan dan manfaat dalam akad ini juga dibatasi dengan waktu tertentu. Adapun maksud manfaat yang langgeng dalam definisih jual beli adalah seperti menjual hak tempat aliran air jika air itu tidak akan samapi ke tujuan kecuali jika melaui perantara hak orang lain.

2.2  Dasar Hukum Kebolehan Jual Beli
Jual beli telah disahkan oleh Alquran,Sunnah, dan Ijma’umat.
Adapaun dalil dari Al-quran yaitu firman Allah :
وَ اَحَلٌ اَلله اَ لبَيَحَ وَ حَرٌمَ الِرٌ بَوَا

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.Al-Baqarah (2): 275)

Riba adalah haram dan jual beli adalah halal.Jadi tidak semua akad jual beli adalah haram sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang berdasarkan ayat ini.

Allah telah mengharamkan memakan harta orang lain dengan cara batil yaitu tanpa ganti dan hibah, yang demikian itu adalah batil berdasarkan ijma umat dan termasuk di dalamnya juga semua jenis akad yang rusak yang tidak boleh secara syara’baik karena ada unsur riba atau jahalah (tidak diketahui), atau karena kadar ganti yang rusak seperti minuman keras, babi,dan yang lainnya dan jika yang diadakan itu adalah harta perdagangan , maka boleh hukumnya, sebab pengecualian dalam ayat di atas adalah terputus  karena harta perdagangan bukan termasuk harta yang tidak boleh dijualbelikan.
Adapun dalil sunnah di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah ,beliau bersabdah :”Sesungguhnya Jual Beli itu atas dasar saling ridha.” Ketika ditanya tentang usaha apa yang paling utama,Nabi menjawab :“Usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur.”

2.3  Hukum Jual Beli
Jual beli bisa menjadi wajib ketika dalam keadaan mendesak, bisa menjadi mandub pada waktu harga mahal, bisa menjdai makruh seperti menjual mushaf, berbeda dengan Imam Al-Ghazali, bisa juga menjadi haram jika menjual anggur kepada orang yang biasa membuat arak, atau kurma basah kepada orang yang biasa membuat inuman arak walaupun si pembeli adalah orang kafir dan selain yang diatas hukumnya boleh.[2]

Membedakan Shafqah (Memegang Tangan)
Dinamakan shafqah sebab orang0orang Arab saling memegang tangan (bersalaman) ketika melakukan akad jual beli, hubungan antara barang yang dijual dengan penamaan ini karena unsur kedekatan, dan maksud dari membedakan di sini dalah membedakan pengaruh akad dan termasuk makna membedakan adalah perbedaan hukum baik sah berakad dengan sesuatu atau rusak terhadap sesuatu yang lain baik dari permulaan atau secara terus-menerus.
           
Hukum Menjual Rokok
Sebagaimana diketahui bahwa syarat sahnya satu akad jual beli jika barang yang dijual bermanfaat yang menjadi tujuan secara syar’i.
Disebutkan dalam Hasyiyah Ar-Rasyidi : “yang benar dalam masalah ini bahwa rokok membawa manfaat dari segi fungsi utamanya yaitu untuk diisap dan ini termasuk yang mubah karena tidak ada dalil yang mengatakan haram, maka mengambilnya sama dengan pemanfaatan terhadap sesuatu yang mubah.
Pendapat yang benar dalah seperti yang disebutkan oleh Syaikh Al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya, Bahwa Allah Berfirman :

وَ لَاتُسْرِ فُواْ إِ نٌهُ لَا تُحِبٌ اَلْمُسْرِ فِينَ
Dan janganlah berlebih-lebihan.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS.Al-A’raf (7):31)

Hukum Menjual Alat Musik
Ulama berbeda pendapat tentang hukum menjual alat musik, apakah boleh atau tidak terdiri dari dua pendapat:
1.     Boleh menjualnya dan ini pendapat yang sesat.
2.     Walaupun dikatakan boleh tetapi manfaatnya dalah haram hanya penulis perlu dilihat sesuatu yang lain yang menjadi sandaran halal atau tidaknya barang ini yaitu bentuk alat itu sendiri, jika tidak bisa dikatakan sebagai harta setelah dihancurkan, maka tidak boleh menjualnya karena tidak ada manfaat secara syar’i.[3]
Adapun jika setelah dihancurkan masih bernilai harta, untuk menjualnya dan menjual patung, dan gambar-gambar yang terbuat dari emas dan perak dan yang lainya terdiri dari tiga pendapat.:
1.     Akad batal. Ini adalah pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat kebanyakan ulama.
2.     Akad tetap sah.
3.     Pendapat Al-Qadhi Husaun dalam kitab Ta’liq-nya dan Al-Mutawalli, Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali.


2.4  Rukun Jual Beli
Arkan adalah bentuk jamak dari rukn.Rukun sesuatu berarti sisinya yang paling kuat, sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya satu akad dari sisi luar.
Rukun jual beli ada tiga : kedua belah pihak yang berakad (aqidan), yang diadakan (ma’qud alaihi), dan shighat (lafal). Oleh sebab itu, ada yang mengatakan penamaan pihak yang berakad sebagai rukun bukan secara hakiki tetapi secara istilah saja, karena ia bukan bagian dari barang yang dijual belikan yang didapati di luar, sebab akad akan terjadi dari luar jika terpenuhi dua hal: yang pertama shighat yaitu ijab danqabul.

1.      Shighat
Shighat adalah ijab dan qabul, dan ijab seperti yang diketahui sebelumnya diambil dari kata aujaba yang artinya meletakkan, dari pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul yaitu orang yang menerima hak milik. Jika penjual berkata: “bi’tuka” (saya jual kepadamu) buku ini dengan ini dan ini,maka ini adalah ijab, dan ketika pihak lain berkata : “qabiltu” (saya terima), maka inilah qabul. Dan jika pmbeli berkata :” Juallah kepadaku kitab ini dengan harga begini” lalu penjual berkata: “Saya Jual kepadamu”, maka yang pertama adalah qabul dan yang kedua adalah ijab. Jadi dalam akad jual beli penjual selalu menjadi yang ber-ijab dan pembeli menjadi penerima baik diwalkan atau diakhirkan lafalnya.
a.      Permasalahan Furu’
Pertama, ucapan pembeli boleh didahuluhkan dari ucapan penjual, seperti jika dia berkata :’Juallah kepadaku tanah ini dengan harga sekian,” tetapi jika dia berkata: “saya terima”, maka ini tidak sah karena harus ada sesuatu sebelumnya dan tidak boleh dimulai dengan itu.
Kedua, Jika dia berkata: “ Jual Kepadaku”, lalu dijawab:” Saya jual kepadamu, jual beli terjadi menurut pendapat kedua tidak sah karena ada kemungkinan ucapan jual kepadaku sebagai prtanyaan untuk mencari tahu apakah ada keinginan atau tidak, dan mazhab kami dalam bab nikah tetap sah.[4]
b.      Sharih (Shighat yang jelas) dan Kinayah (Kiasan)
Perbedaan pendapat terjadi mengenai pemakaian kata-kata kiasan dalam jual beli.Menurut pendapat yang paling shahih, akad jual beli tetap sah dengan menggunakan kata-kata kiasan selama memang mengandung makna jual Beli dan yang lainnya.Misalnya :” Saya jadikan ia milikmu dengan harga begini ,ambillah ia dengan harga begini, atau semoga Allah memberkahimu dengan barang itu sambil berniat jual beli.”
Semua ucapan ini mengandung makna jual beli dan yang lainnya, makna tidak akan sah akadnya kecuali ada niat walaupun pada bagian kecil shighat, karena tidak disyaratkan harus bergandengan dengan setiap lafal berbeda dengan mereka yang berpendapat seperti itu.

c.       Syarat-syarat Shighat
Agar ijab dan Qbul menghasilkan pengaruh dan akad mempunyai keberadaan yang diakui secara syar’I, maka wajib terpenuhi beberapa syarat di bawah ini:
1)     Qabul harus sesuai dengan ijab dalam arti kata sama baik jenis,sifat,ukuran,dan jatuh temponya dan penundaan, jika ini terjadi, maka barulah dua keinginan akan bertemu dan saling bercocokan.
2)     Tidak diselingi dengan ucapan yang asing dalam akad. Perkataan asing dalam akad adalah ucapan yang tidak ada hubungannya dengan akad seperti menerima bunga yang ada aib, dan tidak termasuk maslahat bagi dia dengan memberikan syarat khiyar, meminta saksi atau jaminan,dan bukan perkara mustahab jika dia berkhutbah.
3)     Tidak ada jeda diam yang panjang antara ijab dan qabul, yaitu jeda yang bisa menggambarkan sikap penolakan terhadap qabul.
4)     Orang memulai dengan ijab dan qabul bersikukuh dengan ucapannya, melafalkan shighat yang bisa didengar oleh orang yang dekat dengannya.
d.      Jual Beli dengan Sistem Mu’athah
Al-Mu’athah dan al-munawalah berasal dari kata ‘atha yu’thi jika di saling memberi bentuk mufa’alah (saling bekerja) dari kata ‘atha’ yaitu saling menyerahkan tanpa ada akad.Jual beli dengan system mu’athah adalah jual beli yang hanya dengan penyerahan dan penerimaan tanpa ucapan atau ada ucapan atau tetapi dari satu pihak saja namun kemudian kalangan ahli fiqh memakainya untuk jual beli yang bersifat saling memberi secara khusus.[5]

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa terkait hukum jual beli dengan system mu’athah berkembang tiga pendapat ulama:
Pertama, jual beli demikian tidak sah sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang lainya:” sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kepada sikap saling ridha.”
Kedua, jual beli demikian sah dalam setiap barang yang kurang berharga seperti roti,sayuran,susu,buah-buahan dan semua keperluan sehari-hari yang selalu diperlukan.
Ketiga, jual beli demikian sah dalam setiap yang dinamakan jual beli, artinya setiap yang dianggap jual beli oleh adat kebiasaan orang dan mereka sudah biasa melakukan itu dan menganggap sah jual beli itu tanpa ijab dan qabul, maka jual beli ini sah sebab adat merupakan bagian dari sumber hukum syariat.

2.1  Macam-Macam Jual Beli
Jual beli ditinjau dari segi hukumnya dibagi menjadi dua macam yaitu :
1.      Jual beli yang syah menurut hukum dan batal menurut hukum.
2.      Dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagai menjadi tiga bentuk :
1.      jual beli benda yang kelihatan
Maksudnya adalah pada waktu melakukan akad jual beli benda atyau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli, seperti membeli beras dipasar  dan boleh dilakukan.
2.      Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
Sama dengan jual beli salam (pesanan), ataupun yang dilakukan secara tidak tunai (kontan). Maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyarahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu.
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya ialah :
1)     Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang maupun diukur.Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bias mempertinggi dan memperendah harga barang itu.
2)     Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapat dipasar. Harga hendakya dipegang ditempat akad berlangsug.[1]

2.6 Prinsip-Prinsip Jual Beli Dalam Islam
Saudaraku! Kita adalah penduduk Indonesia yang bermazhabkan dengan mazhab Imam As Syafi’i, maka sudah sepantasnyalah untuk mengamalkan petuah beliau…                                                                                         مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيهِ بِالعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ فَعَلَيهِ بِالعِلْم
“Barang siapa yang menginginkan keuntungan di dunia, maka hendaknya ia berilmu dan barang siapa yang menginginkan keuntungan akhirat, maka hendaknya ia juga berilmu.”
Petuah yang begitu indah dan layak untuk dituliskan dengan tinta emas. Betapa tidak, apalah yang akan menimpa kita bila kita beramal, baik urusan agama atau dunia tanpa dasar ilmu yang cukup.Bila kita beramal dalam urusan agama tanpa dasar ilmu, maka tak ayal lagi kita akan terjerumus ke dalam amalan bid’ah. Dan bila dalam urusan dunia, niscaya kita terjerumus dalam perbuatan haram, atau kebinasaan.
Jauh-jauh hari Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu telah berpesan kepada kaum muslimin secara umum:
                                                                                                                                    اَ يَتَّجِرُ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ فَقُهَ وَإِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا. ذكره ابن عبد البر بهذا اللفظ.
ورواه مالك والترمذي بلفظ: لاَ يَبِعْ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ. حسنه الألباني
“Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita selain orang yang telah faham (berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan riba.” (Ucapan beliau dengan teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky)
Dan ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga Imam At Tirmizy dengan teks yang sedikit berbeda: “Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita selain orang yang telah memiliki bekal ilmu agama.” (Riwayat ini dihasankan oleh Al Albany).
Imam Al Qurthuby Al Maliky menjelaskan: “Orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan terlarang dari yang dibenarkan, transaksi halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikawatirkan akan melakukan praktek riba dan transaksi haram lainnya.
Hal ini juga berlaku pada orang kafir yang tinggal di negri Islam.”(Ahkaamul Qur’an oleh Imam Al Qurthuby Al Maaliky 5/29).

·         SEBAB-SEBAB DIHARAM KANNYA SUATU PERNIAGAAN
Bila telah dipahami bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, maka hal yang semestinya dikenali ialah hal-hal yang menjadikan suatu perniagaan diharamkan dalam Islam.Karena hal-hal yang menyebabkan suatu transaksi dilarang sedikit jumlahnya, berbeda halnya dengan perniagaan yang dibolehkan, jumlahnya tidak terbatas. Imam Ibnu Rusyud Al Maliky berkata: “Bila engkau meneliti berbagai sebab yang karenanya suatu perniagaan dilarang dalam syari’at, dan sebab-sebab itu berlaku pada seluruh jenis perniagaan, niscaya engkau dapatkan sebab-sebab itu terangkaum dalam empat hal:
Barang yang menjadi obyek perniagaan adalah barang yang diharamkan.
1.      Adanya unsur riba.
2.      Adanya ketidak jelasan (gharar).
3.      Adanya persyaratan yang memancing timbulnya dua hal di atas (riba dan gharar).
Inilah hal-hal paling utama yang menjadikan suatu perniagaan terlarang.” (Bidayatul Mujtahid 2/102)
Perincian dari keempat faktor di atas membutuhkan penjelasan yang panjang dan lebar, sehingga pembahasannyapun membutuhkan waktu yang lebih luas. Keempat faktor yang disebutkan oleh imam Ibnu Rusyud di atas, adalah faktor  terlarangnya suatu perniagaan dan yang terdapat pada rangkaian perniagaan tersebut.[2]
Masih ada faktor-faktor lain yang menjadikan suatu perniagaan dilarang, akan tetapi faktor-faktor tersebut merupakan faktor luar. Diantara faktor-faktor tersebut ialah:
1. Waktu.
Dilarang bagi seorang muslim untuk mengadakan akap perniagaan setelah muazzin mengumandangkan azan kedua pada hari jum’at. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
          يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al Jum’ah: 9)
2. Penipuan.
Telah diketahui bersama bahwa penipuan diharamkan Allah, dalam segala hal. Dan bila penipuan terjadi pada akad perniagaan, maka tindakan ini menjadikan perniagan tersebut diharamkan:
                                    البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما، وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما. متفق عليه
“Kedua orang yang saling berniaga memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah, dan bila keduanya berlaku jujur dan menjelaskan, maka akan diberkahi untuk mereka penjualannya, dan bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan dihapuskan keberkahan penjualannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan:
                                                            من غشنا فليس منا
“Barang siapa yang menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami.” (Riwayat Muslim)
3. Merugikan orang lain.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لا تحاسدوا ولا تناجشوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يبع بعضكم على بيع بعض وكونوا عباد الله إخوانا، المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره. متفق عليه
“Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah sebagian dariu kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Diantara bentuk-bentuk perniagaan yang merugikan orang lain ialah:
a. Menimbun barang dagangan
Diantara bentuk penerapan terhadap prinsip ini ialah diharamkannya menimbun barang kebutuhan masyarakat banyak, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
                                                                        من احتكر فهو خاطئ. رواه مسلم وغيره.
“Barang siapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa.” (Riwayat Muslim)
b. Melangkahi penawaran atau penjualan sesama muslim.

لا تلقوا الركبان ولا يبع بعضكم على بيع بعض ولا تناجشوا ولا يبع حاضر لباد. رواه البخاري ومسلم
“Janganlah kamu menghadang orang-orang kampung yang membawa barang dagangannya (ke pasar), dan janganlah sebagian dari kamu melangkahi penjualan sebagian yang lain, dan jangalan kamu saling menaikkan tawaran suatu barang (tanpa niat untuk membelinya), dan janganlah orang kota menjualkan barang dagangan milik orang kampung.” (Riwayat Bukhary dan Muslim).[3]
c. Percaloan.
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا يبع حاضر لباد دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض. رواه مسلم
“Dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah orang kota menjualkan barang-barang milik orang kampung, biarkanlah masyarakat, sebagian diberi rizki oleh Allah dari sebagian lainnya.” (Riwayat Musli



BAB III
PENUTUP

1.1    KESIMPULAN
Pengertian jual beli secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti, dikatakan: “Ba’a asy-syaia jika dia mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba’ahu jika dia membelinya dan memasukkannya kedalam hak miliknya,dan ini masuk dalam kategori nama-nama yang memiliki lawan kata jika disebut ia mengandung makna dan lawannya seperti perkataan al-quran yang berarti haid dan suci.
Adapun makna bay’I (Jual Beli) menurut istilah ada beberapa definisih dan yang paling bagus adalah definisih yang disebutkan oleh Syaikh Al-Qlyubi dalam Hasyiyah-nya bahwa: :Akad saling mengganti dengan harta yang brakibat kepada kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah. “Dengan kata” saling mengganti”, maka tidak termasuk di dalamnya hibah, dan yang lain yang tidak ada saling ganti, walaupun ada saling ganti namun ia bukan mengganti harta dengan harta akan tetapi halalnya bersenang-senang antara suami dan istri, dan dengan kata “kepemilikan harta dan manfaatnya untuk selama-lamanya”, maka tidak termasuk didalamnya akad sewa karena hak milik dalam sewa bukan kepada bendanya akan tetapi manfaatnya setimpal dengan jumlah bayarannya yang dikeluarkan dan manfaatnya, contohnya mobil dari rumah tidak dimiliki bedannya tapi manfaatnya setimpal dengan jumlah bayaran yang dikeluarkan dan manfaat dalam akad ini juga dibatasi dengan waktu tertentu.


























                                                        DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam, FIQH MUAMALAT, Jakarta :             AMZAH,2010
            Sulaiman Rasjid, FIQH ISLAM, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2012
Marjuqi Yahya, PANDUAN FIQH IMAM SYAFI’I, Jakarta : Al-                  Maghfirah
Rachmat Syafe’I, ILMU USHUL FIQH, Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2010.
Suwarjin, USHUL FIQH,Yogyakarta : Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012.

  


















[1]Marzuqi Yahya, “ Panduan Fiqh Imam Safi’I” Jakarta : AL-Maghfirah, halm 101-105
[2]Syafe’I Rachmat, “ ILMU USHUL FIQH” Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2010. Halm. 97
[3]Suwarjin, “ USHUL FIQH” YOGYAKARTA : Katalog Dalam Terbitan (DKT), (2012). Halam 85
  




[1]Azzam Muhammad Aziz Abdul, “ FIQH MUAMALAT”, Jakarta : AMZAH, 2010, Hlm 89-97
[2]Azzam Muhammad Aziz Abdul, “ FIQH MUAMALAT”, Jakarta : AMZAH, 2010, Hlm 26-37
[3]Azzam Muhammad Aziz Abdul, “ FIQH MUAMALAT”, Jakarta : AMZAH, 2010, Hlm 23-25
[4]Rasjid Sulaiman, “FIQH ISLAM”,Bandung : Penerbit Sinar Baru Algensindo,2012. Hlm 279
[5]Rasjid Sulaiman, “FIQH ISLAM”,Bandung : Penerbit Sinar Baru Algensindo,2012. Hlm278

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home