penjelasan tentang Pijal Tikus Oriental (Xenopsylla Cheopis) Plasmodium Ovale Brugia Temori Vibrio Parahaemolyticus
I.
Pijal tikus oriental (Xenopsylla
Cheopis)
Gambar. 1.1. Pijal Tikus Oriental
A.
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Invertebrata
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Siphonoptera
Familia : Pulicidae
Genus : Xenopsylla
Spesies : Xenopsylla cheopis
B.
Nama
penyakit
ü Culex
iritans
C.
Siklus
hidup
Siklus
hidup pinjal terdiri dari 4 tahapan, yaitu:
1.
Tahap
Telur
Seekor kutu betina dapat bertelur 50 telur per hari di hewan
peliharaan. Telurnya tidak lengket, mereka mudah jatuh dari hewan peliharaan
dan menetas dalam dua atau lima hari. Seekor betina dapat bertelur sekitar
1.500 telur di dalam hidupnya.
2.
Tahap
Larva
Setelah menetas, larva akan menghindar dari sinar ke daerah
yang gelap sekitar rumah dan makan dari kotoran kutu loncat (darah kering yang
dikeluarkan dari kutu loncat). Larva akan tumbuh, ganti kulit dua kali dan
membuat kepompong dimana mereka tumbuh menjadi pupa.
3.
Tahap
Pupa
Lama tahap ini rata-rata 8 sampai 9 hari. Tergantung dari
kondisi cuaca, ledakan populasi biasanya terjadi 5 sampai 6 minggu setelah
cuaca mulai hangat. Pupa tahap yang paling tahan dalam lingkungan dan dapat
terus tidak aktif sampai satu tahun.
4.
Tahap
Dewasa
Kutu loncat dewasa keluar dari kepompong nya waktu mereka
merasa hangat, getaran dan karbon dioksida yang menandakan ada host di
sekitarnya. Setelah mereka loncat ke host, kutu dewasa akan kawin dan memulai
siklus baru.
Siklus keseluruhnya dapat dipendek secepatnya sampai 3-4
minggu
Gambar 1.2. siklus Pijal Tikus
Umur rata-rata pinjal sekitar 6 minggu, tetapi pada kondisi
tertentu dapat berumur hingga 1 tahun. Pinjal betina bertelur 20-28 buah/hari.
Selama hidupnya seekor pinjal bisa menghasilkan telur hingga 800 buah. Telur
bisa saja jatuh dari tubuh kucing dan menetas menjadi larva di retakan lantai
atau celah kandang. Pertumbuhan larva menjadi pupa kemudian berkembang jadi
pinjal dewasa bervariasi antara 20-120 hari.
D.
Pencegahan
Langkah-langkah di bawah ini dapat
dilakukan untuk mencegah keberadaan pinjal yaitu:
1.
Menyedot menggunakan vaccum
Seringlah menyedot di daerah
dimana saja hewan peliharaan kunjungi, khususnya di mobil jika sering
berpergian, daerah berkarpet, dan perabotan yang sering dikunjungi oleh hewan
peliharaan supaya semua kutu termasuk telur, dan pupa nya dibersihkan sebanyak
mungkin.
2.
Pencucian
Cucilah tempat tidur
hewan peliharaan, kasur, selimut dan barang lainnya dengan air panas jika
memungkinkan.
3.
Penyemprotan Lingkungan
Ada beberapa macam
spray/semprotan yang tersedia yang bertujuan membunuh kutu loncat di lingkungan
sekitarnya.
E.
Pengobatan
Pengobatan dilakukan
dengan obat anti kutu. Obat anti kutu hanya membunuh pinjal dewasa, pemberian
obat anti kutu perlu disesuaikan agar siklus hidup pinjal bisa kita hentikan.
Pemberian obat perlu diulang agar pinjal dewasa yang berkembang dari telur dapat
segera dibasmi sebelum menghasilkan telur lagi.
II.
Plasmodium ovale
Gambar. 2.1. Plasmodium Ovale
A.
Klasifikasi
·
Kerajaan : Protista
·
Filum : Apicomplexa
·
Kelas : Aconoidasida
·
Ordo : Haemosporida
·
Famili : Plasmodiidae
·
Genus : Plasmodium
·
Spesies : P.
ovale
B. Nama penyakit
·
Malaria Tertian
C.
Penyebaran
dan penularan
ü Melalui gigitan nyamuk anopeles
betina yang pada air liurnya mengandung spororoid, jika tidak mengandung
sporozoid maka tidak akan menyebarkan plasmodium
ü Transfusi darah dari penderita yang
mengidap malaria ataupun yang mengandung hipnozoid pada darahnya.
ü Melalui jarum suntik yang tercemar
parasit plasmodium
ü Dari ibu hamil penderita malaria ke
janin ini jarang sebab janin biasanya mendapatkan perlindungan antibody lewat
transplasenta.
D.
Siklus
hidup
1.
Siklus pada manusia (siklus aseksual)
ü Siklus dimulai ketika anopheles
betina (yang mengandung parasit malaria) menggigit manusia dan
memasukkan sporozit yang terdapat pada air liurnya kedalam aliran darah
manusia.
ü Setelah itu sporozoid yang ada dalam
peredaran darah manusia tersebut, akan menuju kedalam sel hepar (sel sinosoid
hati) kurang lebih 30-60 menit.
ü Didalam sel hepar (hati), sporozoid
tersebut ada yang membentuk:
·
hipnozoid
(hipnozoid berarti setelah masuk kedalam sel hati parasit ini akan diam atau
dormant dan jika daya tahan tubuh menurun, maka akan timbul relaps atau
kambuh), hipnozoid ini biasanya di jumpai pada P. vivak dan P. ovale.
·
Selain
membentuk hipnozoid, sporozoid yang ada di dalam sel hepar akan
mengalami Pertumbuhan dan pembelahan sel cepat, dan terbentuk kista
miroskopik (Schizont) yang mengandung merozoit, ini disebut juga fase pre
eritosit atau siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama kurang lebih dua
minggu.
ü Selanjutnya kurang lebih sekitar 2
minggu, skizon yang berisi merozoit pada sel hati akan pecah dan mengeluarkan
merozit. Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam
peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah.
ü Kemudian Di dalam sel darah merah,
parasit tersebut berkembang lagi menjadi stadium tropozoit.
ü Selanjutnya trofozoid ini akan
berkembang menjadi skizon darah (skinzon yang ada dalam darah), skizon
ini mengandung merozoit juga dan apabila jumlahnya banyak, maka skizont akan
pecah dan mengeluarkan merozoid. Proses perkembangan aseksual ini disebut
skizogoni darah.
ü Selanjutnya Merozoit- merozoit
tersebut lolos dari inaktivasi oleh imunoglobulin atau fagositosis dari
sistim imun kita, masuk ke dalam sel darah merah segar (masih belum terinfeksi
merozoid) untuk selanjutnya menginfeksi sel darah merah yang sehat
tersebut. Siklus ini dikenal sebagai silkus eritrositer
ü Dengan demikian, siklus aseksual
dimulai setiap saat kelompok baru merozoit menginvasi sel darah merah. Siklus
ini yang lamanya sangat penting secara klinis, berakhir 48 jam pada malaria
falsiparum, vivax dan ovale serta 72 jam pada malaria kuartana.
ü Setelah 2 – 3 siklus skizogoni
darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah akan membentuk
stadium seksual (gametosit jantan dan betina). Dengan demikian maka siklus
aseksual akan berakhir dan selanjutnya akan di teruskan ke siklus seksual yang
terjadi di dalam tubuh nyamuk.
2. Siklus pada nyamuk Anopheles spp.
betina.
ü Siklus ini di mulai Apabila nyamuk
Anopheles spp betina menghisap darah manusia yang mengandung gametosit jantan
dan betina.
ü selanjutnya Didalam lambung
nyamuk, terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet
betina (makro gamet) yang kemudian menjadi zigot.
ü Kemudian zigot akan berkembang
menjadi menjadi ookinet, kemudian ookinet masuk ke dinding lambung nyamuk
berubah menjadi ookista.
ü Setelah ookista matang kemudian
pecah, keluar sporozoit yang berpindah ke kelenjar liur nyamuk dan siap untuk
ditularkan ke manusia.
E.
Gejala-gejala
1. Gejala
klasik, biasanya ditemukan pada penderita yang berasal dari daerah non endemis
malaria atau yang belum mempunyai kekebalan (immunitas); atau yang pertama kali
menderita malaria. Gejala ini merupakan suatu parokisme, terdiri dari tiga
stadium berurutan :
ü Menggigil
(selama 15-60 menit)
ü Demam
(selama 2-6 jam), timbul setelah penderita menggigil, demam dengan suhu badan
37,5-40 derajat celcius. Kalo suhu badan meningkat lebih dari 40 derajat
celcius berarti penderita mengalami hiper parasitemia (lebih dari 5 persen).
ü Berkeringat
(selama 2-4 jam), timbul setelah demam, akibat gangguan metabolisme tubuh
sehingga produksi keringat bertambah. Kadang-kadang dalam keadaan berat,
keringat sampai membasahi tubuh seperti orang mandi. Biasanya setelah
berkeringat, penderita merasa sehat kembali.
Di daerah endemis
malaria dimana penderita sudah punya imunitas terhadap malaria, gejala klasik
di atas timbul tidak berurutan. Bisa jadi tidak ditemukan gejala tersebut,
malah kadang muncul gejala lain.
2. Gejala
malaria dalam program pemberantasan malaria:
ü Demam
ü Menggigil
ü Berkeringat
ü Dapat
disertai dengan gejala lain : sakit kepala, mual dan muntah.
ü Gejala
khas daerah setempat : diare pada balita (di Timtim), nyeri otot atau
pegal-pegal pada orang dewasa (di Papua), pucat dan menggigil-dingin pada orang
dewasa (di Yogyakarta).
3.
Gejala malaria berat atau
komplikasi, yaitu gejala malaria klinis ringan dengan disertai salah satu
gejala di bawah ini:
ü Gangguan
kesadaran (lebih dari 30 menit)
ü Kejang
beberapa kali
ü Demam
tinggi diikuti gangguan kesadaran
ü Mata
kuning dan tubuh kuning
ü Pendarahan
di hidung, gusi atau saluran pencernaan
ü Jumlah
kencing kurang (oliguri)
ü Warna
urine/air kencing seperti teh tua
ü Kelemahan
umum (tidak bisa duduk/berdiri)
ü Sesak
nafas
F.
Pencegahan
a.
Menggunakan
kelambu (bed net) pada waktu tidur, lebih baik lagi dengan kelambu
berinsektisida.
b.
Mengolesi
badan dengan obat anti gigitan nyamuk (repellent).
c.
Menggunakan
pembasmi nyamuk, baik bakar, semprot maupun lainnya.
d.
Memasang
kawat kasa pada jendela dan ventilasi.
e.
Letak
tempat tinggal diusahakan jauh dari kandang ternak.
f.
Mencegah
penderita malaria dan gigitan nyamuk agar infeksi tidak menyebar.
g.
Membersihkan
tempat hinggap/istirahat nyamuk dan memberantas sarang nyamuk.
h.
Hindari
keadaan rumah yang lembab, gelap, kotor dan pakaian yang bergantungan serta
genangan air.
i.
Membunuh
jentik nyamuk dengan menyemprotkan obat anti larva (bubuk abate) pada genangan
air atau menebarkan ikan atau hewan (cyclops) pemakan jentik.
j.
Melestarikan
hutan bakau agar nyamuk tidak berkembang biak di rawa payau sepanjang pantai.
Langkah lainnya adalah
mengantisipasi dengan meminum obat satu bulan sebelum seseorang melakukan
bepergian ke luar daerah tempat tinggalnya yang bebas malaria, sebaiknya
mengkonsumsi obat antimalaria, misalnya klorokuin, karena obat ini efektif
terhadap semua jenis parasit malaria. Aturan pemakaiannya adalah :
Pendatang sementara ke daerahî
endemis, dosis klorokuin adalah 300 mg/minggu, 1 minggu sebelum berangkat
selama berada di lokasi sampai 4 minggu setelah kembali.
Penduduk daerah endemis dan penduduk
baru yang akan menetap tinggal, dosis klorokuin 300 mg/minggu. Obat hanya
diminum selama 12 minggu (3 bulan).
Semua penderita demam di daerah
endemis diberikan klorokuinî dosis tunggal 600 mg jika daerah itu plasmodium falciparum
sudah resisten terhadap klorokuin ditambahkan primakuin sebanyak tiga tablet.
G.
Pengobatan
Tujuan pengobatan malaria adalah menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mengurangi kesakitan, mencegah komplikasi dan relaps, serta
mengurangi kerugian sosial ekonomi (akibat malaria).
ü Membunuh semua stadium dan jenis
parasit
ü Menyembuhkan infeksi akut, kronis
dan relaps
ü Toksisitas dan efek samping sedikit
ü Mudah cara pemberiannya
III.
Brugraria
Temori
Gambar.
3.1. Brugraria Temori
A.
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Phylum :
Nematoda
Class : Secernentea
Order : Spirurida
Suborder : Spirurina
Family : Onchocercidae
Genus : Wuchereria
B.
Nama
penyakit
ü Filariasis
C.
Penyebab
dan penularan
1. Penyebab
Di
Indonesia ditemukan 3 spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori yang masing-masing sebagai penyebab filariasis
bancrofti, filariasis malayi dan filariasis timori. Beragam spesies nyamuk
dapat berperan sebagai penular (vektor) penyakit tersebut.
2. Cara Penularan
Seseorang
tertular filariasis bila digigit nyamuk yang mengandung larva infektif cacing
filaria. Nyamuk yang menularkan filariasis adalah Anopheles, Culex, Mansonia,
Aedes dan Armigeres. Nyamuk tersebut tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai
dengan keadaan lingkungan habitatnya (got/saluran air, sawah, rawa, hutan).
D.
Siklus
hidup
Gambar
3.2. Siklus Hidup Filariasis
E.
Gejala
penyakit
Ada
tiga kondisi yang meungkin terjadi pada penderita penyakit kaki gajah:
Pertama, penderita bisa saja tidak merasa sakit atau mengeluh
sakit. Tetapi, tetap saja penyakit ini berbahaya karena dapat menular ke tubuh
orang lain.
Kedua, penderita bisa mengalami infeksi akut akibat
peradangan saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit.
Pembengkakan kelenjar getah bening ini dapat pecah dan mengeluarkan darah.
Ketiga, penyumbatan limfa yang dapat menyebabkan pembengkakan
di bagian kaki juga tangan. Pada wanita. Pembengkakan bisa terjadi di bagian
payudara, sedangkan pada pria di bagian zakar. Daerah yang membengkak akan
tampak kemerahan, panas, dan sakit. Jika kondisinya telah seperti ini, biasanya
penderita kaki gajah mengalami demam selama tiga hingga lima hari.
Dari ketiga proses tersebut, kondisi pertama paling berbahaya
karena tidak memiliki gejala, sehingga orang yang terkena tidak mencari
pengobatan, padahal saat itu proses penularan kepada orang lain yang sehat bisa
terjadi.
F.
Pencegahan dan Pengobatan
Secara umum, pencegahan penyakit kaki gajah dapat dilakukan
dengan cara berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk penular.
Perhatikanlah lingkungan sekitar Anda. Bersihkan genangan air yang dapat
menjadi tempat perindukan nyamuk, seperti bak mandi.
IV.
Vibrio
Parahaemalyticus
Gambar 4.1. Bentuk Vibrio parahaemolyticus
A.
Klasifikasi.
kelas : Gamma Proteobacteria
order : Vibrionales
species : Vibrio
parahaemolyticus
B.
Habitat Vibrio parahaemolyticus
Bakteri Vp hidup pada sekitar muara sungai
(brackish water atau estuaries), pantai (coastal waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea). Bakteri Vp terutama hidup di perairan Asia
Timur. Bakteri ini tumbuh pada air laut
dengan kadar NaCl optimum 3%, (
berkembang baik pada kadar NaCl 0,5% - 8 %)
pada kisaran suhu 5 - 43 OC,
pH 4,8 –11 dan water activity (aw) 0,94- 0,99. Pertumbuhan berlangsung cepat pada suhu optimum 37 OC dengan waktu
generasi hanya 9-11 menit. Pada beberapa
spesies Vibrio suhu pertumbuhan
sekitar 5 – 43 OC (pada suhu 10 OC merupakan suhu minimum
pada lingkungan) (Adams and Moss 2008). Selama musim dingin, organisme ini
ditemukan di lumpur laut, sedangkan selama musim panas mereka ditemukan di
perairan pantai. Bakteri Vp dapat hidup sebagai
koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan produk makanan laut lainnya
(Sudheesh and Xu 2002).
Vp adalah bakteri halofilik didistribusikan di perairan
pantai di seluruh dunia. Bakteri ini
ditemukan di lingkungan muara sungai dan menunjukkan variasi musiman, yang
hadir dalam jumlah tertinggi selama musim panas. Selama musim dingin, bakteri
ini tetap berada di bawah muara pada bahan chitinous
plankton (Ray 2004).
C.
Patogenisitas Vibrio parahaemolyticus
Masa inkubasi yang dilaporkan untuk
keracunan makanan oleh Vp bervariasi dari 2 jam sampai 4 hari meskipun biasanya
9 - 25 jam. Penyakit bertahan hingga 8
hari dan dicirikan oleh diare profuse berair bercampur darah atau lendir,
muntah, nyrti perut, dan demam. Vp lebih enteroinvasive dari Vibrio cholerae, dan menembus epitel
usus untuk mencapai lamina propria. Sebuah sindrom disentri juga telah dilaporkan
dari sejumlah negara termasuk Jepang (Adams and Moss 2008).
Tidak semua strain dari Vp bersifat
patogen. Strain patogen bawaan makanan dapat menyebabkan hemolisis karena adanya
suatu hemolisin panas- stabil dan ditujukan sebagai Kanagawa-positif. Saat ini, hemolisin panas-stabil 23-kDa
(disebut hemolisin langsung termostabil/TDH) dianggap sebagai racun. Kebanyakan
strain terisolasi dari sumber-sumber alam (air muara, plankton, kerang, dan
ikan) adalah Kanagawa-negatif. Namun,
beberapa strain Kanagawa-negatif juga telah dikaitkan dengan wabah bawaan
makanan. Tingkat produksi racun
berhubungan dengan pertumbuhan sel,
konsentrasi sel, dan pH lingkungan. Jika bentuk racun sudah terdapat
dalam makanan, pemanasan tidak akan merusak toksin tersebut (Ray 2004).
Patogenesitas strain Vp sangat
terkait dengan kemampuan mereka untuk menghasilkan 23-kDa, termostabil,
ekstraseluler, haemolysin. Saat diuji pada suatu media yang dikenal sebagai
agar Wagatsuma's, haemolysin bisa melisiskan darah manusia dan sel darah
kelinci tapi tidak pada darah kuda,
sebuah fenomena yang dikenal sebagai reaksi Kanagawa. Haemolysin juga
telah ditunjukkan untuk dapat mengakibatkan enterotoxic, sitotoksik, dan
kardiotoksik (Raghunath et al 2008).
D.
Distribusi Penyakit.
Vibrio parahaemolyticus pertama kali
menunjukkan gejala enteropatogenik pada tahun 1951, yang menyebabkan wabah foodborne disease dan menjadi penyebab
50-70% penyakit gastroenteritis di Jepang (Adams and Moss 2008). Kasus sporadis dan beberapa kejadian luar
biasa (KLB) dengan common source dilaporkan dari berbagai bagian dunia,
terutama dari Jepang, Asia Tenggara dan AS.
Beberapa KLB dengan korban yang banyak terjadi di AS yang disebabkan
karena mengkonsumsi seafood yang tidak dimasak dengan sempurna.
Kasus-kasus ini terjadi terutama pada musim panas. Beberapa KLB yang akhir-akhir ini terjadi
disebabkan oleh strain Kanagawa negatif, dan strain urease positif.
ya konsentrasi yang tinggi pada
tiram karena pada saat musim panas suhu air menjadi hangat. Vp sangat jarang bisa diisolasi pada suhu air
dibawah 15 OC (Yoon et al
2008).
E.
Proses Penularan
Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia yang
mengkonsumsi produk makanan laut seperi udang, kerang, ataupun ikan mentah yang
dimasak kurang sempurna. Penularan juga
dapat terjadi pada makanan yang telah dimasak sempurna namun tercemar oleh
personal/individu yang pada saat bersamaan menangani produk ikan mentah.
Gambar
4.2. Kerang yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus
F.
Penyakit dan Gejala Klinis.
Jika kita mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus, ada kemungkinan
kita akan terkena gastroenteritis bila sistem kekebalan tubuh dalam keadaan
buruk. Istilah gastroenteritis
digunakan secara luas untuk menggambarkan pasien yang mengalami perkembangan
diare dan/atau muntah akut (Lee et al
2008). Istilah ini menjadi acuan bahwa
terjadi proses inflamasi dalam lambung dan usus. Diare adalah buang air besar
(defekasi) dengan jumlah tinja lebih banyak dari biasanya (normal 100 – 200 ml
per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah
padat) dapat pula disertai frekuensi yang meningka. Diare adalah defekasi yang tidak normal baik
frekuensi maupun konsistensinya, frekuensi diare lebih dari 4 kali sehari.
Diare akut akibat bakteri Vp
disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma
disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah sehingga disebut diare
inflamasi. Akibatnya terjadi kerusakan
mukosa baik usus halus maupun usus besar.
Masa inkubasi bakteri Vp biasanya antara 12 sampai 24 jam, tetapi dapat
juga berkisar antara 4 sampai 30 jam.
Gejala yang muncul adalah kejang perut yang tiba-tiba dan berlangsung
selama 48 – 72 jam dengan masa inkubasi 8 – 72 jam. Gejala lain adalah mual,
muntah, sakit kepala, badan agak panas dan dingin. Pada sebagian kecil kasus
juga menyebabkan septisemia (Lee et al
2008).
G.
Siklus Hidup Vibrio parahaemolyticus
Gambar
4.4. Siklus Hidup Vibrio parahaemolyticus (Sumber : CDC)
H.
Cara Pencegahan
Berbagai tindakan preventif mutlak dilakukan untuk
meminimalkan terjadinya keracunan makanan dan gastroenteritis. Namun,
pencegahan yang dilakukan tidak perlu dengan menghindari produk yang potensial
tercemar mikroba karena produk pangan tersebut merupakan salah satu sumber
asupan gizi yang diperlukan tubuh kita. Untuk produk makanan laut segar,
pencucian dapat menurunkan potensi bahaya akibat bakteri Vp. Pencucian atau
pembilasan makanan dapat menghilangkan kotoran dan kontaminan lainnya.
Pencucian dapat dilakukan dengan air, sanitiser dan lain-lain. Air yang dipakai
untuk mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan
makanan. Selain itu, produk makanan laut yang akan dimakan hendaknya dimasak
secara sempurna untuk membunuh larva yang mengkontaminasi makanan. Untuk ikan
yang akan dikalengkan,dibekukan atau dikeringkan, sebaiknya dilakukan
pemblansiran terlebih dahulu. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada
bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada
suhu sekitar 82-93 OC. Waktu
blansir bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam tergantung pada
jenis, ukuran, derajat kematangan ikan yang diinginkan.Tujuan pemblansiran
adalah untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim Vibrio parahaemolyticus. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan
bahan pangan yang biasanya dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan,
dibekukan, atau dikeringkan. Maksudnya untuk menghambat atau mencegah aktivitas
enzim dan mikroorganisme. Penyajian
pasca pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan yang
telah melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian besar kasus foodborne diseases di Indonesia
diakibatkan oleh penanganan pasca pemasakan yang tidak sempurna, seperti
penyimpanan yang terlalu lama.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home