Monday, May 1, 2017

demokrasi dalam islam



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
Pada akhir dasawarsa abad ke-20, demokratisasi menjadi salah satu isu yang paling populer diperbincangkan. Indikasi nyata dari kepopuleran isu itu adalah berlipat gandanya jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis. Negara yang awalnya tidak demokratis, serta merta merubah haluan negaranya menjadi demokratis.
Demokrasi pada substansinya adalah sebuah proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus tata kehidupan komunal mereka. Dan tentu saja yang akan mereka angkat atau pilih hanyalah orang yang mereka sukai. Mereka tidak boleh dipaksa untuk memilih suatu sistem ekonomi, sosial atau politik yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukai. Mereka berhak mengontrol dan mengevaluasi pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.
Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.
Bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi.

1.2.Rumusan Masalah
a.       Jelaskan pengertian Demokrasi ?
b.      Uraikan tentang demokrasi dalam islam !
c.       Sebutkan prinsip-prinsip demokrasi dalam islam ?
d.      Jelaskan Substansi Demokrasi dalam Islam !

1.3.Tujuan Penulisan
Untuk menyelesaikan salah satu tugas pelajaran di sekolah, dan untuk menjadi bahan pedoman dalam penyusunan makalah berikutnya agar siswa dan siswi dapat lebih mengerti tentang demokrasi dalam islam.

BAB II
DEMOKRASI DALAM ISLAM

2.1.Pengertian Demokrasi
Isitilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di  athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18 , bersama perkembangan sistem demokrasi di banyak negara. Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang di Yunani kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.
Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang lahir pada tahun 387 SM, yang menguraikan kata demokrasi dalam hubungannya dengan kedaulatan negara, apakah dipegang oleh satu orang, sekelompok orang atau banyak orang. Apabila orang yang memegang kedaulatan untuk kepentingan orang banyak maka disebut monarki. Kemudian apabila yang memegang kedaulatan sekelompok orang untuk orang banyak disebut aristokrasi.
Kemudian ada pula ajaran dari Polybios, seorang ahli negara Yunani, yang di Roma sebagai seorang tawanan perang. Polybios mengajarkan adanya bentuk negara tersebut adalah terdiri dari 3 (tiga) bentuk ideal, dan 3 (tiga) bentuk kemerosotan. Teorinya tentang perkembangan, bentuk negara didasarkan atas asas dan akibat, sebab yang sama akan membawa akibat yang sama pula. Dia menguraikan proses pertumbuhan dan musnah (lenyapnya) bentuk negara secara psikologia, dan perkembangan dari bentuk negara yang satu ke bentuk negara yang lainya akan merupakan suatu siklus (lingkaran).
Di dunia barat, seperti yang diajukan oleh Abraham Lincoln, demokrasi diartikan sebagai “Pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (terjemahan dari Government by the people, from the people and for the people).”
Demokrasi di dunia Barat, seperti di Eropa Barat, Inggris dan negara-negara persemakmuran, Amerika Serikat dan negara-negara di wilayah Skandinavia, dilaksanakan dalam kaitan ajaran tentang pembagian kekuasaan, di mana badan pembuat undang-undang dilaksanakan parlemen yang dipilih oleh rakyat, dan kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen, seperti yang terjadi di Inggris dan Belanda, atau presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Prancis.

2.2.Demokrasi dalam Islam
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian Drama mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya demokrasi. Berkenaan dengan agama secara umum dan Islam khususnya, dia mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu, Islam dan Budha tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin Islam, dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk mendukung reformasi sejajar dengan idealisme modernisasi.
Apabila demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam dan Budha dapat memberikan dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi khususnya reformasi egalitarian. John O. Voll dan John L. Esposito, dua pakar yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas pandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini dalam khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim kontemporer untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik.
Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di Jurnal Foreign Affairs:
“Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur utama Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”.
Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid  Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.
Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.
Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan non-muslim.
Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam.
Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.
Poin ini memerlukan kajian lebih lanjut karena adanya mispersepsi tentang kedaulatan (sovereignty): bahwa kedaulatan Islam adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam demokrasi adalah milik rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan salah. Memang, Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia telah memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia.
Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia. Dia telah menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan untuk membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi dan implementasinya adalah profan.
Apakah akan memilih jalan ke surga atau neraka adalah murni keputusan manusia. Apakah akan memilih Islam atau keyakinan lain juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih untuk mengorganisir kehidupan kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga terserah kita. Begitu juga, apakah umat Islam hendak memilih bentuk pemerintahan Islam atau sekuler. Tidak ada paksaan dalam agama.
Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas masyarakat tidak menginginkan sistem Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.
Pada karakter fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut sistem demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Dr Fathi Osman, salah satu intelektual muslim kontemporer terkemuka, `’demokrasi merupakan aplikasi terbaik dari Syura”.

2.3.Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam
Prinsip Demokrasi Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya, Kebebasan berbicara setiap warga negara, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum), semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi.
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan seperti teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi; kepatuhan pada hukum; toleransi sesama warga; tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit; serta  dilandasi penafsiran hukum Allah melalui ijtihad.
Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya,
Pertama, dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
Kedua, usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
Ketiga penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
Keempat juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Menurut Salim Ali al-Bahnasawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut pertama, menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Kedua, wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. Ketiga mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah. Keempat komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi,
Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.  Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.

2.4.Substansi Demokrasi dalam Islam
Tema tentang Islam dan demokrasi jelas bukan hal baru. Bahkan, itu selalu dibicarakan, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Seperti pernyataan seorang peserta Sidang Dewan Tafkir, pembicaraan tentang ini mengisyaratkan seolah-olah tidak ada kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Karena itu, terjadi stigmatisasi di kalangan masyarakat internasional bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, khususnya menyangkut hal ‘kedaulatan rakyat’ dalam demokrasi dengan apa yang sering disebut sebagai ‘kedaulatan Tuhan’ (hakimiyyah Allah).
Bahwa tidak ada rumusan perinci tentang sistem politik yang dapat diterapkan umat Islam dalam Alquran telah menjadi semacam kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama fikih siyasah (politik). Sebaliknya, terdapat beberapa prinsip pokok dalam Alquran yang dapat menjadi landasan bagi penerimaan demokrasi dalam Islam, misalnya syura (musyawarah, baik melalui representasi pada lembaga legislatif maupun eksekutif atau secara langsung); almusawa (kesetaraan); al-’adalah (keadilan); akuntabilitas publik (ra’iyah); dan seterusnya.
Atas dasar prinsip-prinsip ini, penerimaan demokrasi melalui kerangka fikih siyasah di atas tidak dilihat mengurangi ‘kedaulatan Tuhan’.
Kedaulatan Allah terhadap makhluknya merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Allah tetap Mahakuasa vis-à-vis makhluknya meski ada ‘kedaulatan rakyat’ yang diwujudkan melalui sistem politik demokrasi. Karena itu, kedua bentuk kedaulatan–yang sebenarnya tidak sebanding–tak perlu dipertentangkan.
Atas dasar kerangka itulah, para pemimpin umat Muslim umumnya dapat menerima demokrasi, khususnya di Indonesia, sejak negara ini memaklumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Memang, dalam perjalanannya, terdapat pemikiran dan gerakan–termasuk bersenjata–yang ingin mengganti demokrasi dan bahkan Pancasila dengan teokrasi Islam, tetapi mengalami kegagalan.
Dalam perjalanannya pula, demokrasi di Indonesia sejak dulu sampai sekarang ini pada praktiknya tidak selalu dapat menjadi sistem politik yang efektif. Karena itu, seperti dikemukakan seorang peserta perempuan dalam Sidang Dewan Tafkir Persis, demokrasi kita belum bisa mengharapkan hasil konkret demokrasi, misalnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, sering terlihat demokrasi berubah menjadi democrazy.
Kita bersyukur, gejala democrazy itu tidak terjadi dalam skala yang mencemaskan pada masa prapileg dan pascapileg yang lalu meski banyak komplain, laporan, dan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi karena DPT yang kacau, politik uang, penghilangan dan pengelembungan suara, dan seterusnya. Pilpres mendatang menjadi ujian, apakah pemilu dapat berjalan lebih baik sehingga bangsa dan negara ini terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Dalam konteks itu, ormas-ormas–khususnya yang berbasiskan keagamaan–dapat memainkan peran penting dalam mengawal penerapan demokrasi lebih baik. Salah satunya adalah memberikan sosialisasi kepada para anggotanya tentang perlu kepatuhan pada hukum dan keadaban publik dalam demokrasi.
Demokrasi tidak bisa berjalan baik tanpa penghormatan dan kepatuhan kepada tatanan hukum–hal itu tentu saja juga sangat diajarkan Islam. Demokrasi juga dapat menjadi kacau balau tanpa keadaban publik (public civility), yaitu sikap dan perilaku yang berlandaskan adab, akhlak, etika, dan moralitas. Politik dan demokrasi tanpa keadaban publik seperti itu dapat berujung pada kekacauan. Dan, ormas-ormas Islam dengan pengaruh dan daya tekannya yang kuat dapat kian memperkuat perannya dalam bidang-bidang ini.



BAB III
KESIMPULAN

3.1.Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu pertama, demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Kedua, rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Keempat, suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya. Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah. Keenam produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama. Ketujuh hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan pertama, seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya. Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.

3.2.Saran
Adapun saran kami sebagai penyusun, yaitu untuk semua masyarakat islam agar selalu berpegang teguh terhadap syari’at islam dan al-qur’an. Karena dengan kita selalu berpegang teguh terhadap syari’at islam dan al-qur’an, insyaallah jalan hidup kita bisa jauh lebih baik.






















Daftar Pustaka


Hasby Asy-Shidiqiy, Falsafah Hukum Islam, Yogyakarta Bulan Bintang 1975.

Husain, syekh syaukat, Hak asasi – manusia dalam islam, Jakarta. Gema Insani perss, 1991

Lopa, Baharuddin. Al Qur’an dan Hak Azasi Manusia, Yogyakarta, PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1999

Ilyas, Muhtarom. Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009




0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home