demokrasi dalam islam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Pada akhir dasawarsa abad ke-20, demokratisasi
menjadi salah satu isu yang paling populer diperbincangkan. Indikasi nyata dari
kepopuleran isu itu adalah berlipat gandanya jumlah negara yang menganut sistem
pemerintahan demokratis. Negara yang awalnya tidak demokratis, serta merta
merubah haluan negaranya menjadi demokratis.
Demokrasi pada substansinya adalah sebuah
proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang
berhak memimpin dan mengurus tata kehidupan komunal mereka. Dan tentu saja yang
akan mereka angkat atau pilih hanyalah orang yang mereka sukai. Mereka
tidak boleh dipaksa untuk memilih suatu sistem ekonomi, sosial atau politik
yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukai. Mereka berhak mengontrol dan
mengevaluasi pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan
menggantinya dengan orang lain jika menyimpang.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan
terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan
persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi,
seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human
right (hak asasi manusia), dst.
Secara normatif, Islam menekankan pentingnya
ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu,
anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan
prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud
masyarakat yang aman dan sejahtera.
Bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu
sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang
tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik
politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di
negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang
menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan
demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari
aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam
penegakan demokrasi.
1.2.Rumusan Masalah
a. Jelaskan
pengertian Demokrasi ?
b. Uraikan
tentang demokrasi dalam islam !
c. Sebutkan
prinsip-prinsip demokrasi dalam islam ?
d.
Jelaskan Substansi Demokrasi dalam Islam
!
1.3.Tujuan Penulisan
Untuk
menyelesaikan salah satu tugas pelajaran di sekolah, dan untuk menjadi bahan
pedoman dalam penyusunan makalah berikutnya agar siswa dan siswi dapat lebih
mengerti tentang demokrasi dalam islam.
BAB II
DEMOKRASI DALAM ISLAM
2.1.Pengertian Demokrasi
Isitilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno
yang diutarakan di athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut
biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan
dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah
sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18 ,
bersama perkembangan sistem demokrasi di banyak negara. Kata demokrasi yang
bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu demos
yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini,
demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota
di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang
di Yunani kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan
perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui
lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang
penduduknya banyak dan wilayahnya luas.
Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang lahir
pada tahun 387 SM, yang menguraikan kata demokrasi dalam hubungannya dengan
kedaulatan negara, apakah dipegang oleh satu orang, sekelompok orang atau
banyak orang. Apabila orang yang memegang kedaulatan untuk kepentingan orang
banyak maka disebut monarki. Kemudian apabila yang memegang kedaulatan
sekelompok orang untuk orang banyak disebut aristokrasi.
Kemudian ada pula ajaran dari Polybios, seorang
ahli negara Yunani, yang di Roma sebagai seorang tawanan perang. Polybios
mengajarkan adanya bentuk negara tersebut adalah terdiri dari 3 (tiga) bentuk
ideal, dan 3 (tiga) bentuk kemerosotan. Teorinya tentang perkembangan, bentuk
negara didasarkan atas asas dan akibat, sebab yang sama akan membawa akibat
yang sama pula. Dia menguraikan proses pertumbuhan dan musnah (lenyapnya)
bentuk negara secara psikologia, dan perkembangan dari bentuk negara yang satu
ke bentuk negara yang lainya akan merupakan suatu siklus (lingkaran).
Di dunia barat, seperti yang diajukan oleh
Abraham Lincoln, demokrasi diartikan sebagai “Pemerintahan oleh rakyat, dari
rakyat dan untuk rakyat (terjemahan dari Government by the people, from the
people and for the people).”
Demokrasi di dunia Barat, seperti di Eropa
Barat, Inggris dan negara-negara persemakmuran, Amerika Serikat dan
negara-negara di wilayah Skandinavia, dilaksanakan dalam kaitan ajaran tentang
pembagian kekuasaan, di mana badan pembuat undang-undang dilaksanakan parlemen
yang dipilih oleh rakyat, dan kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada
parlemen, seperti yang terjadi di Inggris dan Belanda, atau presiden yang
bertanggung jawab kepada rakyat seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan
Prancis.
2.2.Demokrasi dalam Islam
Banyak kalangan non-muslim (individual dan
institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi
dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi
menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup
terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya
Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum
opus-nya Asian Drama mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal
termasuk di dalamnya demokrasi. Berkenaan dengan agama secara umum dan Islam
khususnya, dia mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu, Islam dan
Budha tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin Islam,
dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk mendukung
reformasi sejajar dengan idealisme modernisasi.
Apabila demokrasi identik dengan
egalitarianisme, maka Islam dan Budha dapat memberikan dukungan bagi salah satu
idealisme modernisasi khususnya reformasi egalitarian. John O. Voll dan John L.
Esposito, dua pakar yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas
pandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini
dalam khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim
kontemporer untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik.
Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di
Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council
di CIA) menulis di Jurnal Foreign Affairs:
“Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk
melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak
koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku
yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang
mengkaji literatur utama Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan
demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”.
Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali
mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa
Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak
terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura
(musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi,
Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh Yusuf Qardawi serta
sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha
mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang
lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan
diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang
dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.
Menurut Merriam, Webster Dictionary,
demokrasi dapat didefinisikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya,
oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan
dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem
perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang
diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber
otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan
atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya
kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi
yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam.
Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan
kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang
korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk
dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa
al-Rasyidin) di sisi lain.
Pertama,
konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang
`’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the
governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang
ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran,
Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan
dengan Alquran dan Sunnah. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki
hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan
Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer.
Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan
egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui
bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi
konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan non-muslim.
Kedua,
partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan
struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini
bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan
dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan
populer. Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan
petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki
proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam.
Ketiga,
akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem
konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung
jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa
semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya.
Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh
karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi
sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah
al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.
Poin ini memerlukan kajian lebih lanjut karena
adanya mispersepsi tentang kedaulatan (sovereignty): bahwa kedaulatan
Islam adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam demokrasi adalah
milik rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan salah. Memang,
Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia telah memberikan
kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia.
Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai
Yang Berdaulat di dunia. Dia telah menganugerahi manusia dengan wahyu dan
petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan untuk membentuk diri dan berperilaku,
secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun esensinya
petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi dan implementasinya
adalah profan.
Apakah akan memilih jalan ke surga atau neraka
adalah murni keputusan manusia. Apakah akan memilih Islam atau keyakinan lain
juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih untuk mengorganisir kehidupan
kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga terserah kita. Begitu juga, apakah
umat Islam hendak memilih bentuk pemerintahan Islam atau sekuler. Tidak ada
paksaan dalam agama.
Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan
pemimpin, seperti mayoritas masyarakat tidak menginginkan sistem Islam, maka
kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh
masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena tekanan dan
paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan fondasi Islam tidak
dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.
Pada karakter fundamental yang didasarkan pada
poin-poin di atas, tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam,
kecuali bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya
Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat
Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum bertentangan
dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut sistem demokrasi. Seperti yang
dikatakan oleh Dr Fathi Osman, salah satu intelektual muslim kontemporer
terkemuka, `’demokrasi merupakan aplikasi terbaik dari Syura”.
2.3.Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam
Prinsip Demokrasi Menurut Sadek, J. Sulaymân,
dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di
antaranya, Kebebasan berbicara setiap warga negara, pelaksanaan pemilu untuk
menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus
diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol
minoritas, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi
politik rakyat, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi
hukum (semua harus tunduk pada hukum), semua individu bebas melakukan apa saja
tanpa boleh dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi.
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak
demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan
kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah
buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga
cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat)
merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham
teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan seperti teokrasi yang
diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak
terbatas pada para pendeta.
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang
juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal,
sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi
kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan
keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja
menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya
menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model
demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar
itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh
etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an
sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal
menawarkan sebuah model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi;
kepatuhan pada hukum; toleransi sesama warga; tidak dibatasi wilayah, ras, dan
warna kulit; serta dilandasi penafsiran hukum Allah melalui ijtihad.
Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima
demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam
demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak
berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan
tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi.
Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan
prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur
oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’
(legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami
sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka
tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan
alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan
legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang
otoritas tersebut. Allah befirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem
Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum
atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan
sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi
sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya,
Pertama,
dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat
seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja,
mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga
dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai
oleh makmum di belakangnya.
Kedua,
usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan
Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada
pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum termasuk jenis
pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya
sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas
jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
Ketiga
penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk
Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara
mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya
yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan
tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu
Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam
masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama
tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
Keempat
juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas
pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Menurut Salim Ali al-Bahnasawi, demokrasi
mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi
negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya
kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi
buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada
sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia
menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut pertama,
menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Kedua,
wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. Ketiga
mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam
Alquran dan Sunnah. Keempat komitmen terhadap islam terkait
dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi,
Pertama,
Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara
eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS.
As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang
paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada
zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang
bertugas memilih kepala negara atau khalifah Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan
sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap
mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang
dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap
musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain
karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah
adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam
berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak
boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan
seterusnya. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan,
sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan
lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski
ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran,
artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat
memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap
rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu
pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.Dalam
perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang
dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh
sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian
juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan
perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami
al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah.
Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat
al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup
dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Keempat, al-Amanah
adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain.
Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam
konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh
rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung
jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah
SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka
jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya
merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika
Islam.
Kelima, al-Masuliyyah
adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan
itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri,
maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus
dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian,
yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah
yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah,
bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus
wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip
pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang
berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan
demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid
al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah
(pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi
pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan
sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam,
al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap
orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan
pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan
memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr
bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi
penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya
kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol
sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu
masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
2.4.Substansi Demokrasi dalam Islam
Tema tentang Islam dan demokrasi jelas bukan
hal baru. Bahkan, itu selalu dibicarakan, baik pada tingkat lokal, nasional,
maupun internasional. Seperti pernyataan seorang peserta Sidang Dewan Tafkir,
pembicaraan tentang ini mengisyaratkan seolah-olah tidak ada kesesuaian antara
Islam dan demokrasi. Karena itu, terjadi stigmatisasi di kalangan masyarakat
internasional bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, khususnya menyangkut
hal ‘kedaulatan rakyat’ dalam demokrasi dengan apa yang sering disebut sebagai
‘kedaulatan Tuhan’ (hakimiyyah Allah).
Bahwa tidak ada rumusan perinci tentang sistem
politik yang dapat diterapkan umat Islam dalam Alquran telah menjadi semacam
kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama fikih siyasah (politik).
Sebaliknya, terdapat beberapa prinsip pokok dalam Alquran yang dapat menjadi
landasan bagi penerimaan demokrasi dalam Islam, misalnya syura (musyawarah,
baik melalui representasi pada lembaga legislatif maupun eksekutif atau secara
langsung); almusawa (kesetaraan); al-’adalah (keadilan);
akuntabilitas publik (ra’iyah); dan seterusnya.
Atas dasar prinsip-prinsip ini, penerimaan
demokrasi melalui kerangka fikih siyasah di atas tidak dilihat
mengurangi ‘kedaulatan Tuhan’.
Kedaulatan Allah terhadap makhluknya merupakan
sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Allah tetap Mahakuasa vis-à-vis
makhluknya meski ada ‘kedaulatan rakyat’ yang diwujudkan melalui sistem politik
demokrasi. Karena itu, kedua bentuk kedaulatan–yang sebenarnya tidak
sebanding–tak perlu dipertentangkan.
Atas dasar kerangka itulah, para pemimpin umat
Muslim umumnya dapat menerima demokrasi, khususnya di Indonesia, sejak negara
ini memaklumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Memang, dalam
perjalanannya, terdapat pemikiran dan gerakan–termasuk bersenjata–yang ingin
mengganti demokrasi dan bahkan Pancasila dengan teokrasi Islam, tetapi
mengalami kegagalan.
Dalam perjalanannya pula, demokrasi di
Indonesia sejak dulu sampai sekarang ini pada praktiknya tidak selalu dapat
menjadi sistem politik yang efektif. Karena itu, seperti dikemukakan seorang
peserta perempuan dalam Sidang Dewan Tafkir Persis, demokrasi kita belum bisa
mengharapkan hasil konkret demokrasi, misalnya untuk peningkatan kesejahteraan
rakyat. Sebaliknya, sering terlihat demokrasi berubah menjadi democrazy.
Kita bersyukur, gejala democrazy itu
tidak terjadi dalam skala yang mencemaskan pada masa prapileg dan pascapileg
yang lalu meski banyak komplain, laporan, dan gugatan melalui Mahkamah
Konstitusi karena DPT yang kacau, politik uang, penghilangan dan pengelembungan
suara, dan seterusnya. Pilpres mendatang menjadi ujian, apakah pemilu dapat
berjalan lebih baik sehingga bangsa dan negara ini terhindar dari hal-hal yang
tidak diharapkan.
Dalam konteks itu, ormas-ormas–khususnya yang
berbasiskan keagamaan–dapat memainkan peran penting dalam mengawal penerapan
demokrasi lebih baik. Salah satunya adalah memberikan sosialisasi kepada para
anggotanya tentang perlu kepatuhan pada hukum dan keadaban publik dalam
demokrasi.
Demokrasi tidak bisa berjalan baik tanpa
penghormatan dan kepatuhan kepada tatanan hukum–hal itu tentu saja juga sangat
diajarkan Islam. Demokrasi juga dapat menjadi kacau balau tanpa keadaban publik
(public civility), yaitu sikap dan perilaku yang berlandaskan adab,
akhlak, etika, dan moralitas. Politik dan demokrasi tanpa keadaban publik
seperti itu dapat berujung pada kekacauan. Dan, ormas-ormas Islam dengan
pengaruh dan daya tekannya yang kuat dapat kian memperkuat perannya dalam
bidang-bidang ini.
BAB III
KESIMPULAN
3.1.Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan
dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah
keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah,
serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara
rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap,
tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka
perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu
pertama, demokrasi tersebut harus
berada di bawah payung agama. Kedua,
rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan
musyawarah. Keempat, suara mayoritas
tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam
musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang
menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika
Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil
pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup
mengambil pajaknya. Kelima,
musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada
persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah. Keenam
produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai
agama. Ketujuh hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi
yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan pertama, seluruh
warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam
sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya. Kedua,
parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh
orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
3.2.Saran
Adapun saran kami sebagai penyusun,
yaitu untuk semua masyarakat islam agar selalu berpegang teguh terhadap
syari’at islam dan al-qur’an. Karena dengan kita selalu berpegang teguh
terhadap syari’at islam dan al-qur’an, insyaallah jalan hidup kita bisa jauh
lebih baik.
Daftar
Pustaka
Hasby Asy-Shidiqiy, Falsafah Hukum Islam, Yogyakarta Bulan
Bintang 1975.
Husain, syekh syaukat, Hak asasi – manusia dalam islam, Jakarta.
Gema Insani perss, 1991
Lopa, Baharuddin. Al Qur’an dan Hak Azasi Manusia, Yogyakarta,
PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1999
Ilyas, Muhtarom. Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2009
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home